MUSTAFA AL-RAFI’IE menggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa
pemuda adalah kekuatan, sebab matahari tidak dapat bersinar di senja hari
seterang ketika di waktu pagi. Pada masa muda ada saat ketika mati dianggap
sebagai tidur, dan pohon pun berbuah ketika masih muda dan sesudah itu semua
pohon tidak lagi menghasilkan apa pun kecuali kayu (Ashur Ahams; 1978).
Bagi pemuda, realitas kehidupan yang dihadapinya
sering kali dipersepsikan sebagai kenyataan yang membatasi idealisme dan hasrat
yang mendominasi pikirannya. Sehingga perlu disadari bahwa kedewasaan merupakan
tahap kehidupan yang pasti dijalaninya. Bila pada tahap muda dapat dicapai afeks
pertumbuhan fisikis, maka dalam tahap dewasa terjadi kematangan pertumbuhan
psikik. Arti lainnya, kedewasaan seseorang itu minimal harus memenuhi enam
syarat, yaitu memiliki kemampuan “lebih banyak diam daripada berbicara”;
memiliki empati yang tinggi; bersikap waro; memiliki sikap amanah;
menjadi suritauladan; dan bertindak adil.
Bagi orang yang dewasa, kekalahan yang dialaminya akan
dimanfaatkan sebagai pendorong untuk lebih maju. Tapi bagi orang yang tidak
dewasa, setiap kekalahan yang dialaminya, akan dianggap sebagai halangan untuk
mencapai tujuan. Thamrin Nasution (1980), menyebutkan timbulnya kekalahan
adalah disebabkan kurangnya pengetahuan yang mendalam mengenai masalah yang
dihadapi itu. Dan hal ini akan dapat diatasi dengan memperdalam pengetahuan
tentang masalahnya.***
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com
Idealisme
dan Kreativitas
Oleh
Arda Dinata
MUSTAFA
AL-RAFI’IE
menggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa pemuda adalah kekuatan, sebab
matahari tidak dapat bersinar di senja hari seterang ketika di waktu pagi. Pada
masa muda ada saat ketika mati dianggap sebagai tidur, dan pohon pun berbuah
ketika masih muda dan sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apa pun
kecuali kayu (Ashur Ahams; 1978).
Dalam
hal ini, Dr. M. Manzoor Alam (1989), menyebutkan ada sifat-sifat dasar yang
dituntut dari pemuda Islam itu, diantaranya berupa percaya dan hanya menyembah
kepada Allah; baik terhadap orang tua; jujur dan bertanggung jawab;
persaudaran dan kasih sayang; serta harus berpegang kepada bermusyawarah dan
mentaati norma-norma permusyawarahan.
Keberadaan
sifat-sifat dasar itu mesti dibangun oleh setiap pemuda Islam sebagai sebuah
idealismenya. Dari komitmen itu akan melahirkan profil pemuda ideal sebagai
generasi Rabbi Rodhiya. Adapun parameter yang bisa kita amati dari
generasi model ini, diantaranya berupa:
v Pertama, mempunyai
keterikatan pada Ilahi. Di dalamnya terhujam rasa cinta yang membara kepada
Allah dan melangkahkan kaki sesuai dengan kehendak Allah, sebagai kekasihnya.
Satu-satunya alternatif dalam hidupnya adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT.
(QS. 6: 162 dan QS. 3: 31).
v Kedua, memiliki
keberanian untuk berjihad dengan harta dan jiwa demi tegaknya kalimatullah
(QS. 9: 41).
v Ketiga, berserah
diri secara total (kafah) kepada Allah dengan harapan mendapat petunjuk dan
keridhoan-Nya (QS. 2: 128).
v Keempat, memberikan
penghormatan kepada kedua orang tuanya sebagai salah satu alternatif untuk
mendapatkan keridhoan Allah (QS. 17: 23-24 dan QS. 31: 14).
v Kelima, membina
diri untuk selalu menegakkan sholat, berakhlak bijaksana dalam da’wah serta
memiliki kesabaran dalam menghadapi cobaan. Dan rendah hati, tidak
takabbur, dan tidak ingin pujian serta membantu orang yang lemah dengan harapan
mendapat cinta Allah (QS. 31: 17).
v Keenam, gandrung
akan ilmu pengetahuan, peka terhadap lingkungan, banyak berdzikir dan pandai
membaca situasi dan kondisi yang berkembang (QS. 39:91).
v Ketujuh, memiliki
perkataan dan tingkah laku yang lemah lembut, sangat kuat pendiriannya terhadap
kebenaran, bagaikan bangunan yang berdiri kokoh, sehingga ia tidak takut dan
berduka cita (QS. 46: 13-14).
v Kedelapan, gemar
membaca Alquran dan menjadikannya sebagai sistem kehidupan. Dengan Alquran
ia dapat membedakan antara haq dan bathil, cara berpikir dan bertindaknya
didasari pada Alquran dan Sunah Nabi. Ia berusaha untuk menjadi Quran yang
hidup dan ia tidak suka kalau hanya bicara tanpa beramal, karena Allah memang
tidak suka pada yang demikian. (QS. 2: 44 dan QS 61: 2-3).
Berpikir
Kreatif
Untuk
mengaktualisasikan karakteristik generasi Rabbi Rodhiya tersebut, maka
di sini diperlukan sebuah pola pikir kreatif. Berbicara kreativitas, kita tidak
akan terlepas dari fungsi otak manusia. Para ahli jiwa mengatakan, otak manusia
dibagi menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri merupakan
pusat fungsi intelektual seperti daya ingat, bahasa, logika perhitungan, daya analisis,
dan pemikiran konvergen (cara berpikir searah). Dan otak kanan berfungsi
mengandalkan mental dengan melibatkan intuisi, sikap, emosi, gambar, musik dan
irama, gerak dan tari, serta pikiran divergen (menyebar/bercabang).
Namun,
menurut Yogy RY (Remaja Kreatif Hindari Penggangguran; 2000), disebutkan
kenyataannya kebanyakan orang cenderung hanya menggunakan otak kiri jika
menghadapi persoalan. Padahal, jika diseimbangkan dengan memfungsikan otak
kanan, orang akan berpikir lebih jernih dalam memecahkan persoalan.
Untuk itu,
bagi yang mampu berpikir benar (berpikir dengan otak kiri dan kanan), maka
mereka (baca: pemuda) sudah punya pola berpikir kreatif. Karenanya ia sanggup
memelihara suatu virus dalam dirinya yang dinamakan N-ach (virus mental
yang sanggup mengkondisikan manusia selalu dalam keadaan kreatif).
Kreativitas
sendiri merupakan suatu bidang kajian yang sulit. Menimbulkan berbagai
perbedaan pandangan. Definisi kreativitas menurut Dedi Supriadi (Kreativitas,
Kebudayaan & Perkembangan Iptek; 1994), digolongkan menjadi definisi
secara konsensual dan konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk
kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli.
Sedangkan
definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang
dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap
menekankan segi produk, definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada
konsensus pengamat dalam menilai kreativitas, melainkan didasarkan pada
kriteria tertentu. Amabile (1983: 33), secara konseptual melukiskan bahwa suatu
produk dinilai kreatif apabila: (a) produk tersebut bersifat baru, unik,
berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu; (b) lebih
bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau
jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Jadi, unsur
idealisme dan kreativitas ini dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang
menjadi salah satu kunci sukses seseorang. Dan orang sukses bukan berarti tanpa
mengalami kegagalan. Kalah-menang akan silih berganti. Tapi, di sinilah justru
letak perbedaan antara orang berjiwa besar (dewasa) dan berjiwa biasa (tidak
dewasa).
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com