Buah dari pribadi yang bermodalkan iman dan ilmu itu, tidak hanya berbentuk materi saja, tapi juga adalah sukses rohani, duniawi dan ukhrawi. Hal ini, tentu didasarkan bahwa iman itu dasar mental, ilmu dasar pikir.Ada sifat-sifat dasar yang dituntut dari pemuda Islam itu, diantaranya berupa percaya dan hanya menyembah kepada Allah; baik terhadap orang tua; jujur dan bertanggung jawab; persaudaran dan kasih sayang; serta harus berpegang kepada bermusyawarah dan mentaati norma-norma permusyawarahan.
Keberadaan sifat-sifat dasar itu mesti dibangun oleh setiap pemuda Islam sebagai sebuah idealismenya. Dari komitmen itu akan melahirkan profil pemuda ideal sebagai generasi Rabbi Rodhiya.
Idealisme
dan Kreatifitas, Kunci Pribadi Sukses
Oleh
Arda Dinata
MUSTAFA
AL-RAFI’IE
menggambarkan masa muda dengan mengatakan bahwa pemuda adalah kekuatan, sebab
matahari tidak dapat bersinar di senja hari seterang ketika di waktu pagi. Pada
masa muda ada saat ketika mati dianggap sebagai tidur, dan pohon pun berbuah
ketika masih muda dan sesudah itu semua pohon tidak lagi menghasilkan apa pun
kecuali kayu (Ashur Ahams; 1978).
Bagi
pemuda, realitas kehidupan yang dihadapinya sering kali dipersepsikan sebagai
kenyataan yang membatasi idealisme dan hasrat yang mendominasi pikirannya.
Sehingga perlu disadari bahwa kedewasaan merupakan tahap kehidupan yang pasti
dijalaninya. Bila pada tahap muda dapat dicapai afeks pertumbuhan
fisikis, maka dalam tahap dewasa terjadi kematangan pertumbuhan psikik. Arti
lainnya, kedewasaan seseorang itu minimal harus memenuhi enam syarat, yaitu
memiliki kemampuan “lebih banyak diam daripada berbicara”; memiliki empati yang
tinggi; bersikap waro; memiliki sikap amanah; menjadi suritauladan; dan
bertindak adil.
Dalam
hal ini, Dr. M. Manzoor Alam (1989), menyebutkan ada sifat-sifat dasar yang
dituntut dari pemuda Islam itu, diantaranya berupa percaya dan hanya menyembah
kepada Allah; baik terhadap orang tua; jujur dan bertanggung jawab;
persaudaran dan kasih sayang; serta harus berpegang kepada bermusyawarah dan
mentaati norma-norma permusyawarahan.
Keberadaan
sifat-sifat dasar itu mesti dibangun oleh setiap pemuda Islam sebagai sebuah
idealismenya. Dari komitmen itu akan melahirkan profil pemuda ideal sebagai
generasi Rabbi Rodhiya. Adapun parameter yang bisa kita amati dari
generasi model ini, diantaranya berupa:
v Pertama, mempunyai
keterikatan pada Ilahi. Di dalamnya terhujam rasa cinta yang membara kepada
Allah dan melangkahkan kaki sesuai dengan kehendak Allah, sebagai kekasihnya.
Satu-satunya alternatif dalam hidupnya adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT.
(QS. 6: 162 dan QS. 3: 31).
v Kedua, memiliki
keberanian untuk berjihad dengan harta dan jiwa demi tegaknya kalimatullah
(QS. 9: 41).
v Ketiga, berserah
diri secara total (kafah) kepada Allah dengan harapan mendapat petunjuk dan
keridhoan-Nya (QS. 2: 128).
v Keempat, memberikan
penghormatan kepada kedua orang tuanya sebagai salah satu alternatif untuk
mendapatkan keridhoan Allah (QS. 17: 23-24 dan QS. 31: 14).
v Kelima, membina
diri untuk selalu menegakkan sholat, berakhlak bijaksana dalam da’wah serta
memiliki kesabaran dalam menghadapi cobaan. Dan rendah hati, tidak
takabbur, dan tidak ingin pujian serta membantu orang yang lemah dengan harapan
mendapat cinta Allah (QS. 31: 17).
v Keenam, gandrung
akan ilmu pengetahuan, peka terhadap lingkungan, banyak berdzikir dan pandai
membaca situasi dan kondisi yang berkembang (QS. 39:91).
v Ketujuh, memiliki
perkataan dan tingkah laku yang lemah lembut, sangat kuat pendiriannya terhadap
kebenaran, bagaikan bangunan yang berdiri kokoh, sehingga ia tidak takut dan
berduka cita (QS. 46: 13-14).
v Kedelapan, gemar
membaca Alquran dan menjadikannya sebagai sistem kehidupan. Dengan Alquran
ia dapat membedakan antara haq dan bathil, cara berpikir dan bertindaknya
didasari pada Alquran dan Sunah Nabi. Ia berusaha untuk menjadi Quran yang
hidup dan ia tidak suka kalau hanya bicara tanpa beramal, karena Allah memang
tidak suka pada yang demikian. (QS. 2: 44 dan QS 61: 2-3).
Berpikir
Kreatif
Untuk
mengaktualisasikan karakteristik generasi Rabbi Rodhiya tersebut, maka
di sini diperlukan sebuah pola pikir kreatif. Berbicara kreativitas, kita tidak
akan terlepas dari fungsi otak manusia. Para ahli jiwa mengatakan, otak manusia
dibagi menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri merupakan
pusat fungsi intelektual seperti daya ingat, bahasa, logika perhitungan, daya analisis,
dan pemikiran konvergen (cara berpikir searah). Dan otak kanan berfungsi
mengandalkan mental dengan melibatkan intuisi, sikap, emosi, gambar, musik dan
irama, gerak dan tari, serta pikiran divergen (menyebar/bercabang).
Namun,
menurut Yogy RY (Remaja Kreatif Hindari Penggangguran; 2000), disebutkan
kenyataannya kebanyakan orang cenderung hanya menggunakan otak kiri jika
menghadapi persoalan. Padahal, jika diseimbangkan dengan memfungsikan otak
kanan, orang akan berpikir lebih jernih dalam memecahkan persoalan.
Untuk itu,
bagi yang mampu berpikir benar (berpikir dengan otak kiri dan kanan), maka
mereka (baca: pemuda) sudah punya pola berpikir kreatif. Karenanya ia sanggup
memelihara suatu virus dalam dirinya yang dinamakan N-ach (virus mental
yang sanggup mengkondisikan manusia selalu dalam keadaan kreatif).
Kreativitas
sendiri merupakan suatu bidang kajian yang sulit. Menimbulkan berbagai
perbedaan pandangan. Definisi kreativitas menurut Dedi Supriadi (Kreativitas,
Kebudayaan & Perkembangan Iptek; 1994), digolongkan menjadi definisi
secara konsensual dan konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk
kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli.
Sedangkan
definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang
dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap
menekankan segi produk, definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada
konsensus pengamat dalam menilai kreativitas, melainkan didasarkan pada
kriteria tertentu. Amabile (1983: 33), secara konseptual melukiskan bahwa suatu
produk dinilai kreatif apabila: (a) produk tersebut bersifat baru, unik,
berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu; (b) lebih
bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau
jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Jadi, unsur
idealisme dan kreativitas ini dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang
menjadi salah satu kunci sukses seseorang. Dan orang sukses bukan berarti tanpa
mengalami kegagalan. Kalah-menang akan silih berganti. Tapi, di sinilah justru
letak perbedaan antara orang berjiwa besar (dewasa) dan berjiwa biasa (tidak
dewasa).
Bagi orang
yang dewasa, kekalahan yang dialaminya akan dimanfaatkan sebagai pendorong
untuk lebih maju. Tapi bagi orang yang tidak dewasa, setiap kekalahan yang
dialaminya, akan dianggap sebagai halangan untuk mencapai tujuan. Thamrin
Nasution (1980), menyebutkan timbulnya kekalahan adalah disebabkan kurangnya
pengetahuan yang mendalam mengenai masalah yang dihadapi itu. Dan hal ini akan
dapat diatasi dengan memperdalam pengetahuan tentang masalahnya.
Membina
Pribadi Sukses
Dalam
pandangan Islam, bahwa ‘manusia’ itu yang menjadi pokok utama. Pribadi
merupakan faktor konstitusi moral dan bertanggung jawab atasnya. Faktor pribadi
juga adalah menjadi titik tolak pendidikan diri sendiri. Dan bertujuan kembali
kepada pribadi pula. Dengan kata lain, mengenal dan mendidik pribadi sendiri
artinya mengawali kesadaran sebagai makhluk ciptaan, yang harus tahu diri kepada
Dzat Tertinggi yang menciptakannya. Sehingga dapat dikatakan, dengan mengenal
diri sendiri secara keseluruhan, maka kita mengenal Allah Yang Maha Pencipta.
Untuk
mewujudkan hal itu, maka dalam melakukan pembinaan pribadi ini, perlu adanya
faktor agama sebagai landasan dalam menjaga keseimbangan eksistensi insan
secara otentik. Cara terbaik dalam mengembangkannya ialah dengan senantiasa
berpatokan pada “Takhallaquu Bi Akhlaqillaah” (berakhlaqlah dengan
akhlaq Allah).
Konsepsi
tauhid ini dalam Islam bermaksud menuntun orang untuk mengenal dan menyesuaikan
penerapan nilai rendah dan nilai tinggi seorang pribadi dalam hidup yang
selaras dengan kehendak Allah di dalam mewujudkan ciptaan-Nya. Janganlah kita
sebagai hamba hendak berlaku sombong terhadap Allah dengan tidak mentaati
perintah dan larangan-Nya, sedang sebagai makhluk yang seharusnya mengatur dan
menundukan alam ini, malahan kita meredusir harga diri dan merendahkan nilai
pribadi sebagai “raja makhluk.” (S. Qamarulhadi; 1986: 220).
Berawal
dari pembinaan pribadi dengan berpatokan pada akhlaq Allah, kemudian yang perlu
ditata pada pribadi kita dengan tekun agar mencapai pribadi sukses ialah harus
memiliki iman dan ilmu. Dua syarat ini adalah mutlak, seperti dinyatakan dalam
Alquran surat Al-Mujaadilah: 11, yang artinya: “…. Allah akan mengangkat
derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan mereka yang telah diberi
ilmu, beberapa tingkat …..”
Buah dari
pribadi yang bermodalkan iman dan ilmu itu, tidak hanya berbentuk materi saja,
tapi juga adalah sukses rohani, duniawi dan ukhrawi. Hal ini, tentu didasarkan
bahwa iman itu dasar mental, ilmu dasar pikir. Dalam hal ini, M. Ridwan IR
Lubis (1985) menuliskan bahwa untuk kesuksesan hati dan otak diperlukan
ketekunan. Dari sifat tekun akan menyorot hati dan otak kita. Adapun untuk
membangun dan mengembangkan suatu pekerjaan dengan tekun, maka diperlukan empat
sikap mental, yaitu:
1. Kerjakan menurut kemampuan. Segala sesuatu haruslah dikerjakan
menurut kemampuan kita, jangan kerjakan sesuatu diluar kemampuan kita. Karena
hasil yang didapat akan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
2. Mengutamakan yang penting. Setelah kita dapat mengerjakan
sesuatu, maka hendaklah kita terlebih dahulu melakukan penyortiran. Pekerjaan
mana yang harus didahulukan. Maka lakukan penilaian terlebih dahulu terhadap
pekerjaan tersebut. Mana yang penting, perlu dan berguna.
3. Tetapkan pendirian. Anda jangan mudah diombang-ambingkan
oleh orang lain, sehingga membuat rencana menjadi buyar. Anda harus tetapkan pendirian
untuk mencapai apa yang anda cita-citakan.
4. Jangan berputus asa. Tidak ada sesuatu yang terjadi pada
diri kita adalah merupakan kekejaman Allah. Misalnya, kalau kita mendapati
pekerjaan yang belum berhasil, maka kita harus bersabar. Karena kita harus
yakin bahwa segala sesuatunya Allah sajalah yang amat mengetahui rahasia alam
ini, termasuk rahasia dari ketidakberhasilan apa yang kita rencanakan. Jadi,
kita tidak boleh berputus asa.
Akhirnya,
kita harus sadar betul bahwa esensi kehidupan ini terletak pada pembentukan
semangat dan cita-cita untuk memelihara dan menegakan kepribadian, sehingga
kehidupan memperoleh daya mengembang dari dirinya sendiri beberapa alas
kekuatan, seperti: memori intelektif, kecerdasan, keahlian, keteguhan hati,
keikhlasan yang banyak membantu mengasimilasi kebiasaan dan perilaku kita.
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com