Oleh: ARDA DINATA
Dalam kehidupan ini, hal-hal yang bersifat duniawi, semacam harta benda dan kekayaan lainnya, bukanlah suatu jaminan atas keselamatan seseorang bila ia tidak mampu mengelolanya dengan baik. Sebaliknya, ketiadaannya terhadap kepemilikan kekayaan duniawi tidak akan membuat sengsara, bila kita berepagangan teguh pada tali Allah Swt.
Untuk itu, agar kita terhindar dari ketergantungan akan cinta dunia dan tidak mengabaikan terhadap nikmat dunia tersebut, maka diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang kekayaan duniawi ini. Yakni kita harus berperilaku zuhud terhadapnya. Prinsip utama zuhud adalah meninggalkan ketergantungan, tetapi bukan serta merta meninggalkan kepemilikan.
Konsep seperti itulah, seharusnya yang tertanam dalam jiwa seorang muslim. Petunjuk ini dapat kita temukan dalam Alquran. Allah Swt berfirman, “Dan bila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah dari karunia Allah. Dan ingatlah Allah dengan ingat yang banyak, agar kamu semakin beruntung.” (QS. Al-Jumuah [62]:10). Ayat ini dapat menjadi petunjuk akan tidak adanya larangan atas kepemilikan. Namun, pada keterangan lain Allah Swt melarang tegas bagi siapa saja yang sangat tergantung kepada dunia semata dan terkekang oleh perhiasannya. Allah Swt berfirman, “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan yang tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.” (QS. An-Najm [53]: 29).
Berikut ini, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan agar terhindar dari lilitan ketergantungan pada kekayaan duniawi.
Tidak meletakan hal-hal duniawi di hati.
Orang zuhud itu akan meletakan dunia di tangan dan tidak meletakannya di hati, serta tidak dengan membuangnya. Ini kunci yang pertama bila kita ingin selamat dengan kekayaan duniawi.
Oleh karena itu, hendaklah ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh nikmatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari rasa cinta (baca: cinta dunia atau cinta Allah). Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara di dalam sebuah gelas.
Itulah sebabnya, barangkali mengapa Hisyam bin Hassan pernah berkata, “Tiada seorang yang mengagungkan dirham kecuali Allah akan menghinakannya.”
Tidak hanyut dalam memburu kekayaan duniawi.
Perilaku hanyut dalam memburu kekayaan duniawi merupakan sesuatu yang membahayakan. Sebab sangat mungkin kesempatan dan keseriusan seseorang dalam memburu kekayaan duniawi akan berakibat manusia lupa akan kewajibannya berdakwah. Sehingga pada ujungnya, hal itu akan membuat hatinya beku dan mengeras serta jiwanya menjadi kering.
Sejarah memperlihatkan kepada kita, betapa banyak jiwa-jiwa suci akhirnya tercemar. Adanya tali ukhuwah yang kuat akhirnya berakhir dengan kebencian dan kehncuran. Hal demikian, tidak lain disebabkan adanya persaingan di antara mereka dalam mencari kekayaan duniawi dan melupakan akhirat. Adalah Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf ra., kedua sosok yang patut dicontoh, karena ia terkenal kaya, tetapi selalu berpikir tentang akhirat.
Tidak menumpuk-numpuk kekayaan duniawi.
Setan sebagai musuh manusia, tentu akan selalu berusaha merayu dan membujuk orang-orang kaya untuk terus menimbun dan menumpuk kekayaannya, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah. Padahal kedudukan kekayaan (harta) dalam pandangan Islam adalah harta Allah sedangkan manusia itu terikat dalam membelanjakannya dengan ketentuan-ketentuan yang disyariatkan-Nya.
Untuk itu, agar tidak cinta dunia, maka kita harus memposisikan kekayaan dunia sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan pula sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian. Sehingga patut kita renungkan apa yang dikatakan Al Manawy bahwa, “Harta itu tidak akan tercela dengan sendirinya, maka sesungguhnya harta dunia itu adalah ladang di akherat. Barangsiapa mengambil harta dunia itu dengan memelihara hukum syariat, maka Allah akan memberi pertolongan di akheratnya.”
Jadi, kekayaan harta itu bagaimana orang yang memilikinya, karena ia bisa menjadi jalan kebaikan dan juga bila tidak berhati-hati ia akan memperbudak diri kita.
Segera menginfakkan kekayaan duniawi yang diperoleh.
Perilaku menumpuk-numpuk kekayaan harta akan berakibat mereka melupakan orang fakir miskin. Sehingga untuk menghindari hal ini, kita hendaknya berusaha untuk segera menginfakkan kekayaan yang telah kita peroleh.
Dalam Alquran, Allah Swt memberi petunjuk kepada kita berkaitan dengan membelanjakan kekayaan harta ini, yaitu: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir tetapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al Baqarah [2]: 67).
Lebih jauh, agar kita terhindar dari ketergantungan terhadap kekayaan dunia, maka kita dilarang untuk menjatuhkan dirinya kepada kehancuran. Allah berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah [2]: 195).
Salah satu bentuk sikap berbuat baik terhadap kekayaan dunia adalah dengan segera menginfakkannya di jalan Allah. Nabi saw bersabda, “Hai anak Adam, sesungguhnya jika engkau memberikan kelebihan untuk berinfak adalah lebih baik bagimu. Dan jika engkau kikir adalah lebih buruk bagimu. Dan janganlah kamu boros terhadap kekayaanmu. Dan bantulah kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Dan tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Muslim, Turmudzi).
Dalam hadits lain disebutkan, “Jagalah kamu dari sifat kikir, karena sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang sebelum kamu telah binasa, disebabkan kekikiran." (HR. Dawud).
Akhirnya, apabila tujuan hidup kita tujuannya hanya Allah, maka ketika mendapat karunia kekayaan duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadirat-Nya. Dan sama sekali tidak akan pernah kecewa dengan seberapa pun yang Allah berikan kepadanya. Jadi, hendaknya dalam diri ini terhujam tekad bahwa dirinya tidak akan rela dan tidak berniat sedikit pun untuk menenggelamkan dirinya dengan kekayaan harta yang dimilikinya di luar tuntunan-Nya. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Konsep seperti itulah, seharusnya yang tertanam dalam jiwa seorang muslim. Petunjuk ini dapat kita temukan dalam Alquran. Allah Swt berfirman, “Dan bila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah dari karunia Allah. Dan ingatlah Allah dengan ingat yang banyak, agar kamu semakin beruntung.” (QS. Al-Jumuah [62]:10). Ayat ini dapat menjadi petunjuk akan tidak adanya larangan atas kepemilikan. Namun, pada keterangan lain Allah Swt melarang tegas bagi siapa saja yang sangat tergantung kepada dunia semata dan terkekang oleh perhiasannya. Allah Swt berfirman, “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan yang tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.” (QS. An-Najm [53]: 29).
Berikut ini, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan agar terhindar dari lilitan ketergantungan pada kekayaan duniawi.
Tidak meletakan hal-hal duniawi di hati.
Orang zuhud itu akan meletakan dunia di tangan dan tidak meletakannya di hati, serta tidak dengan membuangnya. Ini kunci yang pertama bila kita ingin selamat dengan kekayaan duniawi.
Oleh karena itu, hendaklah ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh nikmatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari rasa cinta (baca: cinta dunia atau cinta Allah). Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara di dalam sebuah gelas.
Itulah sebabnya, barangkali mengapa Hisyam bin Hassan pernah berkata, “Tiada seorang yang mengagungkan dirham kecuali Allah akan menghinakannya.”
Tidak hanyut dalam memburu kekayaan duniawi.
Perilaku hanyut dalam memburu kekayaan duniawi merupakan sesuatu yang membahayakan. Sebab sangat mungkin kesempatan dan keseriusan seseorang dalam memburu kekayaan duniawi akan berakibat manusia lupa akan kewajibannya berdakwah. Sehingga pada ujungnya, hal itu akan membuat hatinya beku dan mengeras serta jiwanya menjadi kering.
Sejarah memperlihatkan kepada kita, betapa banyak jiwa-jiwa suci akhirnya tercemar. Adanya tali ukhuwah yang kuat akhirnya berakhir dengan kebencian dan kehncuran. Hal demikian, tidak lain disebabkan adanya persaingan di antara mereka dalam mencari kekayaan duniawi dan melupakan akhirat. Adalah Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf ra., kedua sosok yang patut dicontoh, karena ia terkenal kaya, tetapi selalu berpikir tentang akhirat.
Tidak menumpuk-numpuk kekayaan duniawi.
Setan sebagai musuh manusia, tentu akan selalu berusaha merayu dan membujuk orang-orang kaya untuk terus menimbun dan menumpuk kekayaannya, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah. Padahal kedudukan kekayaan (harta) dalam pandangan Islam adalah harta Allah sedangkan manusia itu terikat dalam membelanjakannya dengan ketentuan-ketentuan yang disyariatkan-Nya.
Untuk itu, agar tidak cinta dunia, maka kita harus memposisikan kekayaan dunia sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan pula sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian. Sehingga patut kita renungkan apa yang dikatakan Al Manawy bahwa, “Harta itu tidak akan tercela dengan sendirinya, maka sesungguhnya harta dunia itu adalah ladang di akherat. Barangsiapa mengambil harta dunia itu dengan memelihara hukum syariat, maka Allah akan memberi pertolongan di akheratnya.”
Jadi, kekayaan harta itu bagaimana orang yang memilikinya, karena ia bisa menjadi jalan kebaikan dan juga bila tidak berhati-hati ia akan memperbudak diri kita.
Segera menginfakkan kekayaan duniawi yang diperoleh.
Perilaku menumpuk-numpuk kekayaan harta akan berakibat mereka melupakan orang fakir miskin. Sehingga untuk menghindari hal ini, kita hendaknya berusaha untuk segera menginfakkan kekayaan yang telah kita peroleh.
Dalam Alquran, Allah Swt memberi petunjuk kepada kita berkaitan dengan membelanjakan kekayaan harta ini, yaitu: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir tetapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al Baqarah [2]: 67).
Lebih jauh, agar kita terhindar dari ketergantungan terhadap kekayaan dunia, maka kita dilarang untuk menjatuhkan dirinya kepada kehancuran. Allah berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah [2]: 195).
Salah satu bentuk sikap berbuat baik terhadap kekayaan dunia adalah dengan segera menginfakkannya di jalan Allah. Nabi saw bersabda, “Hai anak Adam, sesungguhnya jika engkau memberikan kelebihan untuk berinfak adalah lebih baik bagimu. Dan jika engkau kikir adalah lebih buruk bagimu. Dan janganlah kamu boros terhadap kekayaanmu. Dan bantulah kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Dan tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Muslim, Turmudzi).
Dalam hadits lain disebutkan, “Jagalah kamu dari sifat kikir, karena sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang sebelum kamu telah binasa, disebabkan kekikiran." (HR. Dawud).
Akhirnya, apabila tujuan hidup kita tujuannya hanya Allah, maka ketika mendapat karunia kekayaan duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadirat-Nya. Dan sama sekali tidak akan pernah kecewa dengan seberapa pun yang Allah berikan kepadanya. Jadi, hendaknya dalam diri ini terhujam tekad bahwa dirinya tidak akan rela dan tidak berniat sedikit pun untuk menenggelamkan dirinya dengan kekayaan harta yang dimilikinya di luar tuntunan-Nya. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.