- / / : 081284826829

Cara Menyampaikan Kebenaran




Oleh: ARDA DINATA


PRIHATIN, begitulah kondisi sebagian masyarakat sekarang. Tak ada lagi sikap santun. Moral dan akhlak dianggapnya hanya layak untuk bumbu pidato dan basa-basi pergaulan hidup. Begitu pula seruan agar supermasi hukum ditegakkan seolah hanya sedap didengar di seminar dan obrolan warung kopi. Law enforcement hanya kata-kata indah untuk menghiasi buku-buku, kenyataan di lapangan, hukum amburadul yang ada “peradilan jalanan.”

Berbicara tentang korban dari adanya peradilan jalanan. Korbannya, tidak hanya pencuri, penjambret, penodong dan orang-orang yang dianggap dukun santet saja, melainkan juga aparat kepolisian. Di Majalengka misalnya, tepatnya di Desa Sidangpanji, Kecamatan Cikijing Kabupaten Majalengka belum lama ini, dua anggota Polres Kuningan tewas dikeroyok massa, seorang di antaranya dibakar hidup-hidup. Naudzubillah.

Sungguh benar-benar memprihatinkan kondisi masyarakat demikian. Di manakah diletakkannya kesadaran moral dan etika komunikasi dalam hidup bermasyarakat kita? Kejadian tersebut, setidaknya harus dapat menyadarkan kita akan kualitas komunikasi yang kita miliki. Karena, bisa jadi hal itu merupakan ikon yang menggambarkan kondisi kualitas komunikasi dari masyarakat kita.

Bagi umat Islam sendiri, komunikasi tidak lain merupakan sarana penyampaian pesan-pesan yang dilihat dari kaca mata Islam haruslah berdasarkan pada Alquran dan As-Sunah. Artinya, Islam jauh-jauh hari memandang begitu penting keberadaan komunikasi dalam masyarakat (baca: sebagai dakwah Islam). Sehingga, kejadian-kejadian pengadilan jalanan seperti itu tidak akan terjadi, bila masyarakat menggunakan etika komunikasi Islam secara baik dan benar.

Ada beberapa landasan akan pentingnya komunikasi bagi umat Islam dan adanya nilai-nilai Islam dalam komunikasi. Pertama, tugas setiap insan untuk menjadikan setiap perbuatan kita semata-mata sebagai ibadah kepada Allah SWT. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Kedua, komunikasi dilakukan sebagai amal saleh dalam rangka saling mengenal satu dengan lainnya. Dalam QS. Al-Hujurat: 13, Allah menginformasikan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal ….”

Ketiga, komunikasi semata-mata dilakukan untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Secara demikian, komunikasi Islami tidak lain merupakan proses komunikasi yang bersendikan ajaran Islam, yaitu ukhuwwah Islamiyah. Atau dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari ajaran komunikasi Islam itu ialah regulasi komunikasi antara sesama manusia (hablum minannas) dan komunikasi dengan Allah (hablum minallah).

Keberhasilan komunikasi ini, tidak saja terletak pada pesan yang disampaikan, tetapi juga bagaimana cara pengemasan dan penyampaiannya. Karena suatu pesan yang benar jika tidak dikemas dengan benar akan membuahkan hasil yang tidak baik. Dalam Islam, kita diperintahkan untuk menyampaikan yang benar dengan cara yang benar. Hal ini, telah diseru oleh Allah dalam QS. An-Nahl: 125, yang artinya: “Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan mau’izhah dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”

Untuk itu, agar pesan dan tujuan komunikasi yang kita inginkan tersebut dapat tercapai, maka ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan dalam berkomunikasi (baca: etika komunikasi dalam Islam). (1) Berkomunikasi dengan jujur. Menurut Jum’ah Abdul Aziz (1996; 88), jujur merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Ia tidak berbicara kecuali dengan jujur dan kesempurnaan. Kejujuran merupakan modal hidup yang dapat membimbing kita dalam mengerjakan.segala sesuatu dalam kehidupan ini.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan kepada kebajikan, dan kebajikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang bersikap jujur sehingga Allah menetapkannya sebagai orang jujur. Sesungguhnya dusta mengantarkan kepada perbuatan dosa dan dosa itu mengantarkannya ke neraka. Seseorang bersikap dusta sehingga Allah menetapkannya sebagai pendusta.” (HR. Bukhari-Muslim).

(2) Mendengarkan dengan baik. Orang bijak mengatakan seorang pembicara yang baik, seharusnya adalah sebagai pendengar yang baik. Oleh karena itu, untuk dapat berkomunikasi dengan baik maka jadilah kita sebagai pendengar yang baik.

Banyak di antara kita yang tidak berhasil melakukan komunikasi secara produktif dan efesien disebabkan karena kita tidak mau memberikan perhatian kepadanya. Salah satunya, yaitu dengan menjadi pendengar yang baik.

Dalam hal ini, Hasan bin Ali ra pernah berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, jika engkau mengikuti pembicaraan ulama, hendaklah engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik, sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Dan janganlah kamu memotong pembicaraan seseorang meski panjang lebar, sehingga ia menyelesaikannya sendiri.”

(3) Menyampaikan/ berkomunikasi dengan cara yang baik. Pada dasarnya manusia itu menyukai yang baik-baik dan menyenangkan terhadap dirinya. Sebaliknya, ia membenci pada orang yang kasar lagi tidak menerapkan etika berbicara yang baik.

Dalam hal ini, sebenarnya Allah juga mencintai orang-orang yang mengasihi dan dikasihi. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu maha lembut, mencintai kelemahlembutan. Ia memberikan kepada kelemahlembutan sesuatu yang tidak diberikan kepada kekerasan dan yang tidak diberikan kepada lainnya.” (HR. Muslim).

Dalam keterangan lain, imam Al Ghazali pernah bercerita bahwa: Datanglah seorang lelaki kepada khalifah Al Ma’mun, menasehatinya dengan cara yang keras dan kasar. Al Ma’mun adalah seorang yang mempunyai fiqh cukup mendalam, maka diapun menjawab: “Wahai Fulan, berlemahlembutlah, sesungguhnya dahulu Allah pernah mengutus dua orang yang jauh lebih baik dari Anda kepada orang yang jauh lebih jahat dari saya. Tapi, Allah memerintahkan keduanya untuk berkata yang lembut. Dia mengutus Musa dan Harun yang jauh lebih baik dari Anda kepada Fir’aun yang jauh lebih jahat dari saya dengan wasiatnya: ‘Pergilah engkau berdua kepada Fir’aun. Sesungguhnya dia telah berbuat melampaui batas. Berkatalah kepadanya dengan kata-kata yang lembut semoga dia mau ingat atau takut.’ Dengan jawaban Al Ma’mun ini, maka laki-laki tadi terdiam tak mampu berkata sepatah kata pun.”

(4) Mengakui adanya perbedaan pendapat. Perbedaan itu adalah sunnatullah. Justru, dengan perbedaan itu maka hidup dan komunikasi dengan orang lain menjadi indah. Yakni bagi mereka yang mampu menjadikan perbedaan tersebut sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup bermasyarakat.

Untuk itu, dalam menyikapi adanya perbedaan tersebut yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita memahami etika berbeda pendapat dan berusaha untuk mempertemukannya. Allah dalam QS. An Nisaa: 59, telah membimbing kita ketika menjumpai perselisihan pendapat, yaitu: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya.”

(5) Melakukan tabayyun. Yakni perilaku seseorang dengan melakukan cek dan rechek terhadap sesuatu informasi yang akan ia sampaikan. Dalam QS. Al Hujurat: 6, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Akhirnya, seandainya kelima hal tersebut dilaksanakan oleh setiap manusia dalam melakukan komunikasi di masyarakat kita, maka kejadian berupa peradilan jalanan seperti yang terjadi di Kabupaten Majalengka itu, insya Allah tidak akan terjadi. Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.

WWW.ARDADINATA.COM