Oleh ARDA DINATA
MANUSIA dalam hidupnya butuh daya tahan tubuh (imunitas). Kondisi imunitas ini dipengaruhi oleh keadaan psikis dan suasana hati seseorang. Kedua hal tersebut sangat menentukan dalam mencapai ketentraman hati.
Untuk mencapai ketentraman hati, orang banyak melakukan caranya sendiri-sendiri. Bahkan, sebagian masyarakat ada pula yang melakukan meditasi untuk mendapatkan ketengan hati. Padahal dalam Alquran Allah SWT telah memberikan jalan untuk mencapainya.
Bagi umat Islam sendiri, ketentraman hati dapat diperoleh melalui dzikir (mengingat Allah). Allah SWT berfirman, “…. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Hakikat dzikir berarti ingat kepada Allah SWT. Manusia yang selalu ingat kepada Allah SWT, hatinya akan merasa tentram dan damai. Dampaknya, manusia yang hatinya merasa tentram dan damai akan memiliki pikiran jernih dan dapat mengendalikan emosinya dengan baik.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau kalangan medis menjelaskan, manusia yang senantiasa melakukan dzikir, hatinya akan menjadi tenteram, pikirannya jernih dan emosinya stabil. Lebih jauh, tubuhnya pun akan sehat dan bagi orang yang sakit, dzikir akan merangsang tubuh menyembuhkan dirinya sendiri.
Dzikir pun menyebabkan tercapainya kondisi keseimbangan otak (homeostatik). Artinya hipotalamus sebagai sentral otak akan bereaksi meningkatkan fungsi hormon. Pada keadaan semacam ini, antibodi pada tubuh manusia akan bereaksi dan bekerja secara optimal. Kondisi ini akan merangsang tubuh menyembuhkan diri sendiri.
Jadi, daya tahan tubuh (imunitas) seseorang itu dapat ditingkatkan dengan dzikir disertai keyakinan, afirmasi, imaginatif dan relaksasi.
Dari sini, manusia yang diberkati dengan akal-pikiran harusnya memandang dzikir (mengingat Allah) merupakan kebutuhannya. Bermodal pengetahuan tersebut, maka ia memandang dzikir sebagai metode paling efektif untuk menentramkan hati.
Apalagi, dewasa ini kancah kehidupan sarat dengan persaingan yang kadang memunculkan banyak orang yang mengalami apatis, demotivasi, khawatir, kecemasan, frustasi, dan stress. Dalam situasi inilah, bagi orang mukmin seharusnya lebih merasa penting untuk selalu mengingat Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alquran.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (ingatlah Allah) dengan dzikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pagi dan petang.” (QS. Al-Hazab: 41-42).
Makna “mengingat” Allah di atas, menurut Mujahid, adalah apa saja yang tidak bisa dilupakan dalam keadaan bagaimanapun (baca: terus-menerus mengingat). Dalam Alquran diungkapkan, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring ….” (QS. Ali ‘Imran: 191).
Dalam menjelaskan QS. Ali ‘Imran: 191, Ibn Abbas mengatakan, “Mengingat Allah diperintahkan dalam keadaan siang dan malam hari, di darat dan di lautan, selama dalam perjalanan, disaat kelapangan dan kesempitan, disaat sakit dan sehat, secara lahiriah dan batiniah”.
Pada bagian lain Alquran menyebutkan, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kamu, ….” (QS. Al-Baqarah: 152). Bagi mereka yang mampu melakukan hal ini, Allah SWT telah menjanjikan ampunan dan pahala.
“…laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35).
Ibnu Ata, seorang sufi yang menulis al-Hikam, membagi dzikir dalam tiga bagian. Pertama, dzikir Jalie. Yaitu suatu amal ibadah mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan doa kepada Allah SWT yang lebih merupakan suara yang jelas untuk menuntut gerak hati. Misalanya, mengucapkan tahlil (kalimat La ilaha illa Allah), tasbih (kalimat Subhanallah), membaca Alquran dan doa lainnya.
Kedua, dzikir khafi. Yakni dzikir yang dilakukan secara khusyuk oleh ingatan hati, baik dzikir lisan ataupun tidak. Orang yang melakukan dzikir ini, hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT. Ia selalu merasakan kehadiran-Nya kapan dan di mana saja.
Ketiga, dzikir hakiki. Yaitu dzikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniah, kapan dan di mana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa raga dari larangan-Nya dan mengerjakan yang diperintahkan-Nya. Untuk mencapai tingkatan dzikir hakiki ini perlu latihan-latihan mulai dari dzikir Jalie dan Khafi.
Akhirnya bagi manusia berakal dan beriman, tentu tidak akan mensia-siakan kesempatan yang diberikan Allah SWT seperti itu. Lebih-lebih dzikir ini dapat kita lakukan setiap saat. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
MANUSIA dalam hidupnya butuh daya tahan tubuh (imunitas). Kondisi imunitas ini dipengaruhi oleh keadaan psikis dan suasana hati seseorang. Kedua hal tersebut sangat menentukan dalam mencapai ketentraman hati.
Untuk mencapai ketentraman hati, orang banyak melakukan caranya sendiri-sendiri. Bahkan, sebagian masyarakat ada pula yang melakukan meditasi untuk mendapatkan ketengan hati. Padahal dalam Alquran Allah SWT telah memberikan jalan untuk mencapainya.
Bagi umat Islam sendiri, ketentraman hati dapat diperoleh melalui dzikir (mengingat Allah). Allah SWT berfirman, “…. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Hakikat dzikir berarti ingat kepada Allah SWT. Manusia yang selalu ingat kepada Allah SWT, hatinya akan merasa tentram dan damai. Dampaknya, manusia yang hatinya merasa tentram dan damai akan memiliki pikiran jernih dan dapat mengendalikan emosinya dengan baik.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau kalangan medis menjelaskan, manusia yang senantiasa melakukan dzikir, hatinya akan menjadi tenteram, pikirannya jernih dan emosinya stabil. Lebih jauh, tubuhnya pun akan sehat dan bagi orang yang sakit, dzikir akan merangsang tubuh menyembuhkan dirinya sendiri.
Dzikir pun menyebabkan tercapainya kondisi keseimbangan otak (homeostatik). Artinya hipotalamus sebagai sentral otak akan bereaksi meningkatkan fungsi hormon. Pada keadaan semacam ini, antibodi pada tubuh manusia akan bereaksi dan bekerja secara optimal. Kondisi ini akan merangsang tubuh menyembuhkan diri sendiri.
Jadi, daya tahan tubuh (imunitas) seseorang itu dapat ditingkatkan dengan dzikir disertai keyakinan, afirmasi, imaginatif dan relaksasi.
Dari sini, manusia yang diberkati dengan akal-pikiran harusnya memandang dzikir (mengingat Allah) merupakan kebutuhannya. Bermodal pengetahuan tersebut, maka ia memandang dzikir sebagai metode paling efektif untuk menentramkan hati.
Apalagi, dewasa ini kancah kehidupan sarat dengan persaingan yang kadang memunculkan banyak orang yang mengalami apatis, demotivasi, khawatir, kecemasan, frustasi, dan stress. Dalam situasi inilah, bagi orang mukmin seharusnya lebih merasa penting untuk selalu mengingat Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alquran.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (ingatlah Allah) dengan dzikir sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya pagi dan petang.” (QS. Al-Hazab: 41-42).
Makna “mengingat” Allah di atas, menurut Mujahid, adalah apa saja yang tidak bisa dilupakan dalam keadaan bagaimanapun (baca: terus-menerus mengingat). Dalam Alquran diungkapkan, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring ….” (QS. Ali ‘Imran: 191).
Dalam menjelaskan QS. Ali ‘Imran: 191, Ibn Abbas mengatakan, “Mengingat Allah diperintahkan dalam keadaan siang dan malam hari, di darat dan di lautan, selama dalam perjalanan, disaat kelapangan dan kesempitan, disaat sakit dan sehat, secara lahiriah dan batiniah”.
Pada bagian lain Alquran menyebutkan, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kamu, ….” (QS. Al-Baqarah: 152). Bagi mereka yang mampu melakukan hal ini, Allah SWT telah menjanjikan ampunan dan pahala.
“…laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35).
Ibnu Ata, seorang sufi yang menulis al-Hikam, membagi dzikir dalam tiga bagian. Pertama, dzikir Jalie. Yaitu suatu amal ibadah mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan-ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan doa kepada Allah SWT yang lebih merupakan suara yang jelas untuk menuntut gerak hati. Misalanya, mengucapkan tahlil (kalimat La ilaha illa Allah), tasbih (kalimat Subhanallah), membaca Alquran dan doa lainnya.
Kedua, dzikir khafi. Yakni dzikir yang dilakukan secara khusyuk oleh ingatan hati, baik dzikir lisan ataupun tidak. Orang yang melakukan dzikir ini, hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT. Ia selalu merasakan kehadiran-Nya kapan dan di mana saja.
Ketiga, dzikir hakiki. Yaitu dzikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniah, kapan dan di mana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa raga dari larangan-Nya dan mengerjakan yang diperintahkan-Nya. Untuk mencapai tingkatan dzikir hakiki ini perlu latihan-latihan mulai dari dzikir Jalie dan Khafi.
Akhirnya bagi manusia berakal dan beriman, tentu tidak akan mensia-siakan kesempatan yang diberikan Allah SWT seperti itu. Lebih-lebih dzikir ini dapat kita lakukan setiap saat. Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.