Oleh: ARDA DINATA
SUATU pagi, saya dan keponakan berjalan-jalan di sekitar danau. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh tingkah laku Ponakan saya yang melempar-lemparkan batu kecil ke dalam air danau tersebut. Dia, sangat senang dan girang terhadap lingkaran riak-riak air yang ditimbulkan batu itu. Lalu, Ponakan saya bertanya, “Mengapa air itu menjadi melingkar dan apa arti lingkaran itu?”
Mendengar pertanyaan itu, saya jadi berpikir dan merenung. Apa makna dari kejadian itu. Yang oleh sebagian orang, mungkin dianggap sepele. Dan akhirnya saya teringat akan kandungan surat Al-Alaq:1, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”
Di sinilah, kita diwajibkan untuk membaca. Baik yang tersurat (Alquran dan hadits nabi) maupun yang tidak tersurat, yaitu yang terjadi pada manusia dan alam sekitarnya.
Lantas, makna apa yang dapat diambil dari ayat Allah berupa lingkaran riak-riak air yang ditimbulkan oleh sebuah batu itu?
Kalau kita telaah, lingkaran riak-riak air itu mempunyai makna yang sangat agung dan berguna bagi kehidupan manusia. Sebuah batu yang merupakan benda mati saja bisa memberikan arti (baca: reaksi) terhadap lingkungannya (air). Apalagi manusia yang memiliki akal dan pikiran, tentu reaksinya lebih dari sebuah batu?
Kalau saja batu itu, diibaratkan dengan manusia yang beriman dan beramal saleh, maka ia akan memberikan pancaran-pancaran kebenaran terhadap lingkungan yang ia tempati. Pancaran kebenaran seperti inilah, saat ini yang perlu kita galang dan himpun.
* *
ALLAH berfirman, “Demi massa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. 103: 1-3).
Di sini, Allah pertama kali mengatakan Wal-Ashr, demi massa. Dan ini adalah sumpah. Para ahli tafsir mengatakan, jika Allah bersumpah dengan salah satu makhluknya, hal ini memiliki kedudukan sangat penting dalam struktur dan mekanisme kehidupan manusia. Pada konteks ini, Allah bersumpah dengan waktu, ini menunjukkan bahwa waktu memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam kehidupan manusia.
Allah mendefinisikan waktu dalam QS. Al-Mulk: 2, “Dia-lah yang menciptakan kematian dan kehidupan, ….” Dalam arti lain, waktu itu meliputi sebelum keberadaan kita di dunia (karena kita sebelumnya belum ada) dan selama kehidupan itu berlangsung. Jadi, waktu itu sesungguhnya hidup itu sendiri. Yusuf Qordlowi mengatakan, Al-waktu huwal hayata, waktu adalah hidup itu sendiri.
Pada tataran demikian, kita menyadari bahwa hakekatnya kehidupan manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (baik fisik, material, rohani, spritual, politik, sosial, dan lainnya). Kemudian Allah membuat pengecualian, yaitu ada empat hal yang menyebabkan seseorang terbebas dari kerugian.
Pertama, orang-orang yang beriman. Iman berarti kebenaran yang kita pahami dan kebenaran yang kita yakini. Kebenaran di sini, menyangkut aspek rasional dan emosional. Jadi, iman yang menyeluruh baik pengetahuan (akal) maupun keyakinan (hati).
Kedua, beramal saleh. Yakni melakukan kebenaran. Kebenaran yang telah dipahami oleh akal dan diyakini hati melalui ayat-ayat Allah. Kalau seseorang sudah beriman dan beramal saleh, Ibnul Qoyyim berkata telah sempurna (saleh) orang itu secara pribadi. Tapi, Islam tidak menginginkan kesalehan seseorang itu hanya disimpan untuk diri pribadi.
Kalau anda sudah saleh secara pribadi, maka sebaiknya anda mendristribusikannya kepada orang lain dan lingkungan di mana kita berada. Artinya, berlakulah kita laksana lemparan sebuah batu di air yang menghasilkan lingkaran-lingkaran air. Mulai dari yang kecil sampai lingkaran tak terhingga.
Proses mendistribusikan kesalehan kita kepada orang lain agar menjadi saleh, itulah yang disebut dengan saling berwasiat dalam kebenaran. Saling berwasiat dalam kebenaran ini merupakan syarat ketiga yang dapat membebaskan manusia dalam kerugian.
Pendeknya, kebenaran yang telah kita yakini dan diamalkan, lalu kita pancarkan pada yang lain. Di sini, kebenaran telah melalui tiga tahap, yaitu teori, emosional, dan aplikasi. Dan kita tahu, bahwa tingkatan tertinggi dari suatu pengetahuan adalah pengalaman. Imam Gozali mengatakan ada tiga tingkatan pengetahuan itu, yaitu pemahaman (teoritis), aplikasi, dan sesuatu yang timbul dari aplikasi dan pemahaman. Itulah yang dinamakan pengalaman.
Untuk itu, setiap Muslim hendaknya memiliki kerangka berpikir seperti itu. Siapa pun yang berbicara, mendengarkan dan melihat tingkah laku kita, maka hendaknya ia mendapatkan pancaran kebenaran dari kita. Artinya, pribadi seorang Muslim itu, bebarapa diameter dalam jaraknya adalah lingkaran kebenaran.
Keempat, saling berwasiat dalam kesabaran. Pernyataan ini sangat berkait dengan kata sebelumnya. Yakni, orang yang beriman. Langkah selanjutnya adalah beramal saleh. Lalu, berwasiat dalam kebenaran dan dialah yang membutuhkan kondisi saling berwasiat dalam kesabaran dibandingkan dengan orang yang hanya beriman (saleh) secara pribadi.
Akhirnya, semoga kita dapat mengambil ibroh-nya bagi kehidupan di masyarakat. Pepatah Arab mengatakan, “La jadidu tahtasy syamsi ---Tidak ada yang baru di bawah matahari---.” Untuk itu, banyak-banyaklah kita menimba pengalaman dan pelajaran dari orang-orang pendahulu kita serta fenomena yang terjadi di alam semesta. Di sinilah, perlunya kita menggalang pancaran kebenaran dalam hidup.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.