Saling Memaafkan = Kebahagiaan
Oleh: Arda Dinata
PNS & Penulis di WebBlog MIQRA Indonesia
(http://miqra.blogspot.com)
Setiap manusia pasti pernah berbuat kesalahan terhadap orang lain, baik disengaja maupun tidak. Begitu pun dalam kehidupan rumah tangga, antara suami, istri, dan anak-anak pernah terjadi ‘bentrok’ kecil-kecilan yang membuat tidak enak di hati. Dan kita menjadi bahagia, manakala di ujung ‘konflik’ dalam keluarga tersebut diakhiri dengan ungkapan saling memaafkan.
Saling memaafkan kesalahan itulah, yang terus menerus coba diterapkan dalam kehidupan rumah tangga kami. Lagi pula, saling memaafkan kesalahan ini termasuk di antara ajaran-ajaran Islam dalam keluarga.
Mengapa pola saling memaafkan ini coba kami terapkan dalam kehidupan keluarga? Alasannya singkat saja, selain menjalankan perintah ajaran Islam. Alasan lainnya ialah didasari atas pemikiran bahwa sangat wajar bila dua individu manusia bisa tidak bersepakat dalam beberapa hal.
Aplikasinya, dalam konteks kehidupan keluarga, maka dianjurkan bagi suami dan istri untuk memaafkan kesalahan masing-masing serta bersikap saling membahagiakan, menghindari konflik dan perdebatan. Dampak perilaku ini, biasanya setelah selang beberapa waktu, justru kecemasan-kecemasan akibat ‘konflik’ itu akan hilang, atau pihak yang bersalah akan merasa malu dan bahkan bisa menjadi terharu.
Berikut ini merupakan contoh yang pernah terjadi dalam keluarga kami. Suatu waktu, istri saya merasa kesal (ditambah mungkin karena merasa kecapaian), yaitu ketika istriku menegur kepada sang anak untuk segera melakukan shalat. Namun, anaknya tidak mau menurut. Akhirnya istriku menjadi ‘marah-marah’ sehingga anak menangis. Namun, sejurus kemudian, istriku sadar akan ‘kesalahan’ yang telah dilakukannya dan ia langsung meminta maaf sambil memeluk serta menangis. Ujungnya, di antara tangisan dan pelukan itu, ia membisikan kata-kata nasehat.
“Ibu melakukan itu, sebenarnya bukan karena benci dan betul-betul marah pada Teteh (panggilan akrab untuk anak putri kami-Pen). Tapi, ibu lakukan itu semata-mata demi kebaikan Teteh di kemudian hari, biar menjadi anak yang solehah…,” bisik istriku.
Potret kejadian tersebut, akhirnya berujung bukannya berupa tangisan
Kebencian dan kekesalan. Tapi, justru tangisan keharuan atas penyesalan rasa bersalah di antara istri dan anakku. Aku pun jadi terharu melihat kejadian tersebut.
Terkait dengan itu, maka pantas saja Husain ‘Ali Turkamani dalam buku Family: The Center of Stability (1988), mengungkapkan sepasang suami-istri yang bertindak atas dasar keyakinan bahwa siapa saja yang mudah melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain akan meningkatkan pahala dan derajatnya, dapat memainkan peranan efektif dalam menciptakan disiplin keluarga yang sehat, serta memperkuat hubungan di antara anggota-anggotanya.
Allah SWT sendiri dalam Al-Quran mengatakan, “…. Dan jika kamu memaafkan, tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tagabun [64]: 14).
Akhirnya, kita berdoa semoga keluarga kita (suami-istri-anak) dibimbing oleh Allah SWT untuk dapat bersikap mudah memaafkan, berlaku murah hati, penuh kasih sayang dan diberi kesabaran dalam membangun kehidupan rumah tangga. Lagi pula, bukankah sikap dan kebiasaan tersebut, jelas-jelas akan membangun kedamaian, kesalehan dan kebahagiaan keluarga dalam kehidupan sehari-hari? Waallahu’alam.
Oleh: Arda Dinata
PNS & Penulis di WebBlog MIQRA Indonesia
(http://miqra.blogspot.com)
Setiap manusia pasti pernah berbuat kesalahan terhadap orang lain, baik disengaja maupun tidak. Begitu pun dalam kehidupan rumah tangga, antara suami, istri, dan anak-anak pernah terjadi ‘bentrok’ kecil-kecilan yang membuat tidak enak di hati. Dan kita menjadi bahagia, manakala di ujung ‘konflik’ dalam keluarga tersebut diakhiri dengan ungkapan saling memaafkan.
Saling memaafkan kesalahan itulah, yang terus menerus coba diterapkan dalam kehidupan rumah tangga kami. Lagi pula, saling memaafkan kesalahan ini termasuk di antara ajaran-ajaran Islam dalam keluarga.
Mengapa pola saling memaafkan ini coba kami terapkan dalam kehidupan keluarga? Alasannya singkat saja, selain menjalankan perintah ajaran Islam. Alasan lainnya ialah didasari atas pemikiran bahwa sangat wajar bila dua individu manusia bisa tidak bersepakat dalam beberapa hal.
Aplikasinya, dalam konteks kehidupan keluarga, maka dianjurkan bagi suami dan istri untuk memaafkan kesalahan masing-masing serta bersikap saling membahagiakan, menghindari konflik dan perdebatan. Dampak perilaku ini, biasanya setelah selang beberapa waktu, justru kecemasan-kecemasan akibat ‘konflik’ itu akan hilang, atau pihak yang bersalah akan merasa malu dan bahkan bisa menjadi terharu.
Berikut ini merupakan contoh yang pernah terjadi dalam keluarga kami. Suatu waktu, istri saya merasa kesal (ditambah mungkin karena merasa kecapaian), yaitu ketika istriku menegur kepada sang anak untuk segera melakukan shalat. Namun, anaknya tidak mau menurut. Akhirnya istriku menjadi ‘marah-marah’ sehingga anak menangis. Namun, sejurus kemudian, istriku sadar akan ‘kesalahan’ yang telah dilakukannya dan ia langsung meminta maaf sambil memeluk serta menangis. Ujungnya, di antara tangisan dan pelukan itu, ia membisikan kata-kata nasehat.
“Ibu melakukan itu, sebenarnya bukan karena benci dan betul-betul marah pada Teteh (panggilan akrab untuk anak putri kami-Pen). Tapi, ibu lakukan itu semata-mata demi kebaikan Teteh di kemudian hari, biar menjadi anak yang solehah…,” bisik istriku.
Potret kejadian tersebut, akhirnya berujung bukannya berupa tangisan
Kebencian dan kekesalan. Tapi, justru tangisan keharuan atas penyesalan rasa bersalah di antara istri dan anakku. Aku pun jadi terharu melihat kejadian tersebut.
Terkait dengan itu, maka pantas saja Husain ‘Ali Turkamani dalam buku Family: The Center of Stability (1988), mengungkapkan sepasang suami-istri yang bertindak atas dasar keyakinan bahwa siapa saja yang mudah melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain akan meningkatkan pahala dan derajatnya, dapat memainkan peranan efektif dalam menciptakan disiplin keluarga yang sehat, serta memperkuat hubungan di antara anggota-anggotanya.
Allah SWT sendiri dalam Al-Quran mengatakan, “…. Dan jika kamu memaafkan, tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tagabun [64]: 14).
Akhirnya, kita berdoa semoga keluarga kita (suami-istri-anak) dibimbing oleh Allah SWT untuk dapat bersikap mudah memaafkan, berlaku murah hati, penuh kasih sayang dan diberi kesabaran dalam membangun kehidupan rumah tangga. Lagi pula, bukankah sikap dan kebiasaan tersebut, jelas-jelas akan membangun kedamaian, kesalehan dan kebahagiaan keluarga dalam kehidupan sehari-hari? Waallahu’alam.