Menikmati Episode Menunggu Jodoh?
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com
Oleh: Arda Dinata
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan bagi kamu
pasangan dari jenis kamu sendiri agar kamu sakinah bersamanya dan Dia
menjadikan cinta dan kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kamu yang berpikir.” (QS. Ar Ruum: 21)
JODOH berarti pasangan hidup manusia yang sepadan; cocok;
serasi; sesuai benar; kena benar; atau setuju hatinya. Dewasa ini banyak
pasangan yang belum berjodoh bingung apa yang mesti diperbuat dalam menunggu
jodohnya. Padahal dari ayat Alquran di atas, mengajarkan kita agar berpikir,
termasuk dalam menentukan pasangan (jodoh). Di sini, ada makna rentang waktu
antara menunggu jodoh dengan membangun keluarga sakinah bersama pasangan kita
kelak. Menunggu jodoh ialah menantikan; mengharapkan (sesuatu yang mesti datang
atau terjadi) terhadap pasangan hidup kita. Jadi, menunggu jodoh bukan berarti
menunda jodoh untuk terlaksananya perkawinan.
Pada koridor itulah, kita seharusnya
dapat menikmati episode menunggu jodoh sebagai ladang amal mempersiapkan membangun
keluarga sakinah, sambil menunggu pasangan hidup kita. Pertanyaannya, apa saja
yang perlu kita nikmati dalam menunggu jodoh itu?
Betapa banyaknya, dikalangan pria dan
wanita yang tidak maksimal menikmati menunggu jodoh dengan melakukan hal-hal
yang dapat mendukung dalam pembangunan keluarga sakinah yang akan dibentuknya
di kemudian hari. Padahal, begitu banyaknya sisi-sisi keilmuan dan keteladanan
yang perlu disusun membentuk bongkahan benteng yang siap menghadang serbuan
virus-virus penyebar kebusukan dalam ikatan keluarga kita kelak.
Episode menunggu jodoh, juga bukan
berarti kita dengan seenaknya menikmati masa-masa itu dengan tergelincir dan
tergoda oleh nafsu yang ada dalam dirinya, sehingga melanggar atau menjauh dari
syariat yang diwajibkan-Nya. Yakni, pria maupun wanita hendaknya melalui
episode menunggu jodoh –masa remajanya—dengan selalu waspada terhadap segala
goda dan rayuan setan. Rasulullah bersabda, “Wahai
pemuda, barangsiapa di antara kamu sanggup membayar mas kawin dan memberi
nafkah, hendaklah kawin, karena perkawinan dapat memelihara dirimu. Pemuda yang
tidak sanggup kawin hendaklah berpuasa. Puasa itu dapat mematahkan syahwatnya.”
(HR. Bukhari).
Berikut ini, hal-hal yang perlu
dinikmati dalam episode menunggu jodoh sebagai peletak dasar dalam
mempersiapkan bangunan keluarga sakinah. Pertama,
menikmati dalam membekali diri dengan ilmu-ilmu yang diperlukan/berkait dalam
berumah tangga. Kebanyakan dari kita merasa kurang sekali dalam pembekalan yang
satu ini. Padahal, ilmu sungguh merupakan modal kesuksesan yang patut kita
kedepankan dalam hidup ini –termasuk dalam membangun rumah tangga-. Bukankah
hal itu, bisa kita lakukan bila kita telah menikah? Ya, tindakan ini pun tidak
salah. Tapi, alangkah tepat dan nikmatnya seandainya ilmu yang berkaitan dengan
kerumah tanggaan itu sudah kita miliki jauh-jauh hari sebelum masa perkawinan.
Dan tentu, hasilnya akan jauh lebih baik.
Selain itu, bukankah ada sebuah
kewajiban maupun kebajikan dalam pernikahan yang menuntut kita untuk memiliki
ilmunya, sehingga kita bisa melaksanakan dengan baik dan tidak menyimpang.
Misalnya, ilmu yang berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan (mengajarkan
ilmu agama pada istri dan anak; menasehati istri; mengingatkan suami; dll) dan
ilmu tentang bagaimana melakukan (mendampingi suami; menggauli istri/suami;
melayani suami; mendidik anak; mengelola keuangan keluarga; dll).
Kedua, menikmati dalam mempersiapkan kemampuan memenuhi tanggung
jawab suami/istri. Ada banyak tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh mereka
yang sudah menikah, sehingga kadangkala membuat sebagian orang takut menikah.
Seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri dan anaknya serta
menyediakan tempat tinggal sesuai dengan kadar kesanggupannya. Berbarengan
dengan ini, tentu istri punya kewajiban (pula) untuk menerima tanggung jawab
suami dengan hati terbuka. Yaitu tidak menuntut suami untuk memberikan sesuatu
yang diluar kesanggupan untuk memberinya. Lebih-lebih jika ketidakrelaan
seorang istri tersebut, membuat suami melakukan perbuatan mungkar kepada Allah
dan Rasul-Nya. Di sini, kuncinya tidak lain adalah pentingnya sebuah ilmu.
Ketiga, menikmati dalam kesiapan menerima anak. Hal ini, tentu
perlu dipersiapkan sejak dini bahwa seorang yang siap melangsungkan perkawinan
maka sejalan dengan itu, ia harus pula siap untuk menerima kehadiran seorang
anak.
Lalu, apa yang perlu dinikmati dalam
posisi menunggu jodoh berkait dengan kesiapan menerima kehadiran anak? Yaitu
nikmatnya, bila kita mampu membangun keilmuan tentang bagaimana arti seorang anak,
mendidik anak, perilaku perkembangan anak, psikologi anak, dll. Dampaknya,
dikemudian hari tentu kita tidak menjadi kesal/kaget apabila menghadapi
beberapa perubahan anak dalam perkembangn fisik dan tingkah lakunya, karena
secara keilmuan kita telah mempersiapkannya.
Keempat, menikmati dalam membangun kesiapan psikis. Tanpa
dipungkiri, kadangkala kita hanya membayangkan indahnya pernikahan, tanpa
berusaha belajar untuk selalu siap menerima kekurangan-kekurangan dari orang
yang kelak menjadi pasangan (jodoh) kita. Pada episode menunggu jodoh inilah,
kita harus menikmati dengan membangun kesiapan psikis sebagai bekal kelak
setelah menikah. Tepatnya, kesiapan psikis –menerima kekurangan pasangan kita- ini
tidak berarti lantas kita leluasa untuk berapologi terhadap kekurangan
tersebut, sekalipun hal itu memang sepatutnya dimaklumi daripada dituntut untuk
diperbaiki.
Kelima, menikmati dalam membekali kesiapan ruhiah. Dalam
episode menunggu jodoh ini, tentu sangat nikmat kalau kita bekali dengan
kesiapan ruhiah. Betapa tidak? Karena bila kesiapan ruhiahnya memang
benar-benar baik (jernih), ia dapat membedakan antara hak Adami dan kewajiban
kepada-Nya -sesuai ajaran Islam- sehingga ia tetap dapat memilih.
Dalam hal ini, al-Hasan bin Ali ra.
memberitakan suatu ketika, seorang laki-laki berkata kepada cucu Nabi ini,
“Saya mempunyai seorang putri. Jika ada yang berniat menikahinya, saya akan
nikahkan dia.” Maka al-Hasan berkata, “Nikahkan putrimu dengan laki-laki yang
bertakwa kepada Allah SWT. Jika ia menyukai putrimu, ia pasti akan
memuliakannya. Jika ia sedang marah, ia tidak akan menzalimi putrimu.”
Sungguh nikmatnya, bila kita
memiliki kebersihan ruhiah dengan ketakwaan kepada-Nya, sikapnya akan tetap
terkendali oleh ketakwaannya. Artinya, bila ia menyukai istri/suaminya,
kecintaannya itu melahirkan sikap memuliakan.
Akhirnya, pada tataran demikianlah,
kita sudah selayaknya menikmati episode menunggu jodoh dengan hal-hal yang
mengantarkan pada terwujudnya keluarga sakinah. Sungguh ini sama sekali bukan
kerugian. Allah telah berfirman, “Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah
untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula)….” (QS. An-Nuur: 26).***
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com