Oleh: ARDA DINATA
REJEKI, bagi kebanyakan orang diartikan sebagai segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah. Dalam arti luas, rejeki bukanlah sesuatu yang sifatnya material semata-mata. Dan inilah yang sering kita lupakan.
Melalui catatan singkat ini, kita mencoba berbicara masalah pembelanjaan ‘rejeki’ dalam kehidupan keluarga untuk mencapai keluarga yang sakinah. Dan pengertian rejeki di sini, kita batasi hanya berkenaan dengan harta atau materi semata.
Setiap kita, hendaknya mampu memposisikan harta atau materi dalam kehidupannya secara benar. Karena, tidak sedikit orang yang jelas-jelas dibuat pusing tujuh keliling oleh harta. Tepatnya, ada atau tidaknya harta dalam hidup manusia, keduanya dapat membikin pusing seseorang. Tentunya, pada tataran ketika rasionilitas pikiran kita tidak sesuai dengan ketentuan-Nya.
Yang terakhir itu, jika menyelimuti aktivitas keluarga kita, maka dampaknya akan menjadi tidak harmonisnya berbagai sisi kehidupan di dalam sebuah keluarga. Dan ini, tentunya tidak kita inginkan.
Untuk menggapai ‘keharmonisan’ dalam pembelanjaan harta ini, Islam sebenarnya jauh-jauh hari telah mengaturnya. Islam adalah agama yang mengandung aqidah --meng-Esakan Tuhan dan menyembah kepada-Nya-- dan mengandung undang-undang --menjamin dan menjaga hak-hak seseorang, serta menjaga agar tidak saling bertentangan dalam kemaslahatan umum--.
Oleh karena itu, hukum Allah memandang harta bukan merupakan sasaran yang pokok, seperti halnya hukum sosialis (baca: golongan yang besar menekan golongan yang kecil) dan hukum materialis (baca: seseorang menguasi masyarakat).
Lebih jauh, harta yang dikuasakan Allah kepada manusia dalam pandangan Islam adalah salah satu jalan hidup. Bukan merupakan satu-satunya tujuan hidup. Atau menjadikannya sebagai majikan, sehingga dapat memperbudak manusia itu sendiri.
Sebaliknya, Dr. Muhammad Mahmud Bably, mengungkapkan bahwa harta yang tercela menurut Islam yaitu harta itu dijadikan objek tujuan, dan bagi pemilik harta menjadikan harta sebagai perlindungan terhadap harta yang ditimbunnya atau yang disembunyikannya. Kemudian menahan terhadap orang lain dari pemanfaatan harta yang seharusnya beredar dari tangan yang satu kepada tangan yang lainnya. Sehingga dari sini, akan timbul sifat kikir.
Di sinilah, kelihatan pentingnya sejak awal kita membangun rasionilitas dalam pembelanjaan ‘rejeki’ dalam aktivitas kehidupan keluarga setiap Muslim.
Pembelanjaan ‘Rejeki’
Masalah menjemput rejeki dan membelanjakannya, bagi setiap Muslim kalau tidak hati-hati, bisa-bisa malah akan menjadi bumerang.
Untuk itu, harta yang baik adalah jika diperoleh dari yang halal dan digunakan menurut tempatnya. Dalam hal ini, telah diriwayatkan dari Ibnu Umara ra. bahwa ia berkata, sabda Rasulullah Saw., “Dunia itu bagaikan tumbuh-tumbuhan yang menarik. Barang siapa yang mencari harta dunia dari harta yang halal, kemudian dibelanjakan sesuai dengan haknya, maka Allah akan memberi pahala dan akan didatangkan Surga, dan barang siapa yang mencari harta dunia, bukan dari harta yang halal dan dibelanjakan bukan pada haknya, maka Allah akan menempatkan ke dalam tempat yang hina. Dan banyak orang yang ambisi dalam mencari di jalan Allah dan RasulNya yang masuk ke dalam api neraka pada hari kiamat.”
Betapa strategisnya kedudukan harta ini dalam kehidupan manusia di dunia. Ia, akan dapat mengantarkan kita pada pahala dan surga, bila sesuai dengan ketentuan-Nya. Dan sebaliknya akan mengantarkan kita pada kehinaan dan neraka, jika kita salah mengaturnya. Lantas, bagaimana kita mengatur proses pembelanjaan ‘rejeki’ –berupa harta-- dalam kehidupan keluarga ini?
Ada satu kata kunci untuk menjawab permasalahan pembelanjaan ‘rejeki’ itu. Dialah, etika Islam berupa perintah memiliki sifat dan sikap hemat (Iqtishad).
Iqtishad, adalah membelanjakan harta anugerah Allah secara wajar dan pantas, tidak boros tetapi juga tidak kikir (bakhil). Prinsip ini telah dikemukakan Allah dalam Alquran berikut ini.
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67).
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29).
Secara demikian, batasan yang sederhana berkenaan pembelanjaan atas setiap rejeki yang didapat dari Allah SWT, tiddak lain berupa sikap rasionilitas jangan terlalu kikir dan jangan pula terlalu pemurah. Untuk mencapai hal ini, setiap keluarga Muslim harus mampu merencanakan secara rasional dalam pembelanjaan ‘rejeki’-nya, jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.
Dan patut diingat, apa yang dikatakan Al Manawy bahwa, “Harta itu tidak akan tercela dengan sendirinya, maka sesungguhnya harta dunia itu adalah ladang di akhirat. Barang siapa mengambil harta dunia itu dengan memelihara hukum syariat, maka Allah akan memberi pertolongan di akhiratnya.” Wallahu’alam.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.