Oleh: Arda Dinata
“Sesuatu yang paling utama yang hendaknya dipelajari oleh anak-anak kecil adalah sesuatu yang diperlukannya ketika mereka sudah beranjak dewasa.” [Ali bin Abi Thalib].
SOSOK gajah selalu memberi daya tarik buat anak-anak, termasuk juga bagi orangtua. Anakku termasuk yang menyenangi gajah, bukan saja karena memiliki ukuran tubuh yang super besar, tapi juga karena belalai gajah memiliki multifungsi, yaitu bisa sebagai menara radar, sedotan minuman, tangan, hidung, dan lengan. Lebih dari itu, kefamilieran anak-anak terhadap hewan ini, karena dalam Alquran ada cerita tentang pasukan gajah yang cukup memikat anak-anak.
Kalau kita cermati lebih detail, kekaguman kita terhadap gajah ini tidak berhenti sampai di sini, justru akan terus bertambah. Apa pasalnya? Gajah dengan belalainya, bagi saya adalah sumber pengetahuan dan telah menyentak kesadaran kita selaku orangtua.
Coba saja kita perhatikan, bagaimana induk gajah secara hati-hati menggunakan belalai yang mengagumkan itu untuk bayinya. Belalai induk gajah menjadi shower bagi anak gajah dan pembersih debu yang menempel di tubuh anaknya. Terus bunyi belalai gajah mirip bunyi trompet yang nyaring. Bunyi ini memperingatkan anak gajah, jika keluar dari barisan atau berada dalam bahaya. Sementara itu, belalainya menjadi tali yang sangat kuat, dan mampu mengarahkan gerak anak gajah agar tidak berbelok ke arah yang tidak diinginkan induknya.
Secara ilmiah, belalai gajah pun memang luar biasa. Belalai gajah merupakan anggota tubuh rumit yang membutuhkan sekitar 50.000 otot berbeda untuk melakukan fungsinya. Selain itu, belalai gajah sangat lunak dan mengandung sentuhan ringan, yang digunakan induk gajah untuk membimbing dan menimang bayinya. Pada kesempatan lain, belalai yang lunak ini berubah menjadi sangat kuat untuk mengangkat dan menggeser balok-balok kayu yang beratnya sekitar 250 kilo gram yang menghalangi jalan anaknya.
Pokoknya sungguh luar biasa, belalai gajah merupakan perpaduan dari kekuatan, kelunakan, serbaguna, dan fleksibilitas dalam menjalani kehidupannya. Terus terang, saya selaku orangtua sangat terinspirasi dan menginginkan dapat berperilaku seperti belalai gajah dalam mendidik buah hati kami.
Belalai gajah telah mengajarkan kepada kita dalam hal keseimbangan yang baik antara cinta yang keras dan cinta yang lunak. Bukankah anak-anak kita sejatinya sangat memerlukan disiplin, harapan yang jelas, dan tanggung jawab keluarga. Namun, anak-anak juga memerlukan toleransi, kelembutan, dan bantuan tanpa ada tekanan?
Dalam bahasa yang indah, Linda & Richard Eyre (2006) menggambarkan tentang mengadopsi aspek terbaik dari dua akhir spektrum (cinta yang keras dan lunak) dari hukum belalai gajah ini. Pertama, seperti belalai gajah, cinta kita diperlukan untuk membimbing anak-anak dan merangkul mereka setiap hari.
Kedua, seperti belalai gajah, cinta kita harus menetapkan batasan yang jelas tentang arah tujuan anak-anak dan apa yang bisa mereka lakukan.
Ketiga, seperti belalai gajah, cinta kita harus memberikan persetujuan dan menyelimuti mereka dengan kepercayaan, tapi juga harus mengingatkan mereka secara keras dan jelas tentang adanya bahaya.
Keempat, seperti belalai gajah, cinta kita seharusnya memindahkan penghalang di jalan yang anak-anak kita lalui, tapi membiarkan mereka menempuh jalan tersebut di bawah kekuatan mereka sendiri.
Kelima, seperti belalai gajah, cinta kita harus kuat dan lentur, melihat kebutuhan anak-anak dan berkeinginan untuk kadang-kadang menjadi keras dan kadang-kadang menjadi lunak.
Sungguh indah hikmah dari belalai gajah itu. Pantas saja terkait pendidikan anak, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Sesuatu yang paling utama yang hendaknya dipelajari oleh anak-anak kecil adalah sesuatu yang diperlukannya ketika mereka sudah beranjak dewasa.” Makanya saya sendiri cukup merespon positif ketika dalam suatu waktu anakku pernah mengungkapkan keinginannya untuk memiliki “belalai gajah” dalam hidupnya. “Ayah…, bisa tidak kalau Aa (sebutan bagi anak laki-laki) dapat memiliki belalai gajah, sehingga dapat membantu dan melindungi teman-temanku,” ungkap anakku.
Saya terus terang terharu mendengarnya, kemudian sambil mengelus rambutnya yang lembut mulutku berujar, ”Tentu sayang…., kamu pasti bisa memiliki belalai gajah dalam hatimu, asalkan Aa… berperilaku baik. Dan ayah akan selalu mendoakanmu ‘nak…. Agar memiliki hati dan perilaku seperti belalai gajah. Amin….!”
Akhirnya, sejujurnya ketika saya mengungkapkan jawaban di atas, hati kecilku justru mengatakan bahwa ayah pun sama ‘nak… ingin memiliki hati dan perilaku seperti belalai gajah dalam mendidikmu. Untuk itu, ”Bantu ayah ya anakku…., agar mendapatkan ‘belalai gajah’ dalam hidup ini!”
Arda Dinata, penulis lepas dan pengasuh Majelis Inspirasi Alquran & Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, http://miqra.blogspot.com.