Keberadaan gelar pada seseorang ini, tentu harus disikapi secara bijaksana, karena hal itu semata-mata hanya ujian dari Allah SWT. Artinya, gelar itu bisa mengantarkan kemulyaan seseorang di hadapan-Nya dan bila tidak hati-hati menjaga amanah tersebut akan berbuah keterpurukan bagi diri sendiri dan bangsanya.
Biasa Ala Orang yang Bergelar
Oleh Arda Dinata
Gelar berarti sebutan (titel seperti raden, tengku, Dr., Ir. dsb); nama tambahan (sesudah kawin); nama tambahan sebagai kehormatan menurut adat; nama yang bukan sebenarnya, hanya diambil dari sifat keadaan orang. Sehingga orang yang bergelar adalah orang yang memakai gelar (sebutan); orang yang memakai nama tambahan; orang yang mempunyai sebutan.
Pencantuman gelar seseorang adalah sah-sah saja, sepanjang tujuannya untuk kebaikan dan bukan sebagai hinaan, kesombongan dan riya. Lagian, kemulyaan seseorang itu tidak semata-mata ditentukan atas gelar (keduniawian). Tapi, di hadapan Allah SWT, ketakwaanlah yang menentukan derajat kemulyaan seseorang. Jadi, gelar itu dapat dipergunakan seandainya hal itu akan mengantarkan kedekatan dirinya terhadap-Nya. Sebaliknya, penggunaan gelar yang tidak pada tempatnya, justru akan mengurangi kewibawaannya, serta menunjukkan kelemahan diri sendiri yang sesungguhnya.
Berkait dengan gelar ini, Alquran menyebutkan bahwa kita diperintahkan untuk tidak memanggil seseorang dengan gelar yang buruk. “….dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujuraat: 11).
Di sini, panggilan yang buruk ialah gelar-gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari dengan gelar itu, seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.
Pada tatanan ini, konsep biasa ala orang bergelar tidak lain adalah mereka yang memposisikan gelar yang disandangnya sebagai sesuatu yang sesuai dengan usaha yang diperbuatnya dan gelar itu semata-mata hanya sebagai jalan mengharap ridha-Nya.
Keberadaan gelar pada seseorang ini, tentu harus disikapi secara bijaksana, karena hal itu semata-mata hanya ujian dari Allah SWT. Artinya, gelar itu bisa mengantarkan kemulyaan seseorang di hadapan-Nya dan bila tidak hati-hati menjaga amanah tersebut akan berbuah keterpurukan bagi diri sendiri dan bangsanya.
Dewasa ini, kita menyaksikan dan menemukan begitu banyak di negara Indonesia yang rakyatnya telah memiliki gelar –yang semestinya patut dibanggakan dari segi keilmuan bagi kemajuan bangsanya--. Tapi, nyatanya saat ini bangsa kita telah mengalami keterpurukkan yang berlarut-larut. Salah satu faktornya ialah gelar-gelar yang disandangnya itu semata-mata hanya untuk mengejar jabatan tertentu. Yang kadangkala perilakunya tidak sejalan dengan gelar yang disandangnya. Dan lebih parah lagi, gelar itu didapatnya dengan cara yang tidak halal, yaitu melalui manipulasi dan kolusi (baca: gelar palsu).
Sebuah sumber menyebutkan bahwa salah satu “penyakit kronis” di dunia pendidikan kita adalah menyebarnya virus gelar palsu, mulai dari jenjang S1, S2 hingga S3. Bahkan kini telah pula merebak praktek jual beli gelar Doctor Honoriz Causa (DHC) serta gelar Prof. Kasus terbaru adalah terkuaknya gelar Profesor “palsu” yang diberikan oleh Northern Global California University (25/02/2002) kepada Bupati Ponorogo (Jawa Timur), HM. Markum Singodimedjo, MM. Padahal gelar pascasarjananya (MM) juga masih dipertanyakan.
Selain itu, pada tahun 2000 lalu, dunia pendidikan tinggi pernah dipermalukan oleh terungkapnya kasus Drs. Syaifur S. Azhar, MS (Ipong) dari Fak. Ilmu Sosial dan Politik UGM (Yogyakarta). Pasalnya, disertasinya dituduh menjiplak skripsinya Mochamad Nurhasim (1996), alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga (Surabaya). Akhirnya UGM memutuskan untuk membatalkan gelar doktornya serta tidak memberinya kesempatan mengulang atau memperbaiki disertasinya. Lebih parahnya lagi, ada institusi pendidikan pemberi gelar yang terkecoh oleh gelar palsu. Universitas Jenderal Soedirman (Purwokerto) sebagai contoh, pada tahun kemarin (2001) baru mengetahui bahwa seorang dosennya di bidang psikologis sosial, ternyata mencantumkan gelar DR. palsu. Naudzubillah!
Itulah potret keberadaan gelar di negeri ini. Sehingga bisa jadi hal ini sebagai salah satu penyebab dari keterpurukan bangsa Indonesia. Bukankah Allah SWT berfirman dalam QS. Al A’raaf: 40, “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit –doa dan amal mereka—dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.”
Jadi, perilaku tersebut adalah sangat bersebrangan dengan ketentuan-Nya atas hakekat keberadaan gelar pada diri manusia. Sehingga seharusnya manusia menjadikan gelar itu sebagai sesuatu yang dapat mempererat kedekatan kita kepada-Nya dan berguna bagi sebanyak-banyaknya manusia. Inilah, esensi dari biasa ala orang bergelar tersebut.
Bagaimana menurut Anda?
Berikut ini, ada beberapa perilaku kehidupan ala orang biasa yang dapat menjadi tarbiyah bagi kita yang merindukan enaknya hidup ini.
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com