(Mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)
Hampir semua orang mengenal lagu Cucok Rowo yang dipopulerkan oleh mendiang penyanyi campursari Didi Kempot. Lagu ini bertema plesetan komedi campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, dimana menyebutkan “cucak rowo” dengan cara menghibur. Tapi, tahukan Anda saat ini status burung ini terancam kritis karena perburuan dan perdagangan untuk dijadikan burung koleksi atau burung perlombaan. Inilah nasib burung Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang dewasa ini telah rentan dari kepunahan keberadaannya di alam liar.
Sebelum membahasnya lebih jauh, kita harus mengenal apa itu burung Cucak Rawa. Cucak Rawa adalah jenis burung pengicau dari suku Pycnonotidae. Burung ini juga dikenal umum sebagai Cucak Rawa (dalam bahasa Jawa dilafazkan sebagai Cucok Rowo), Cangkurawah (Sunda), dan Barau-barau (Melayu).
Dalam bahasa Inggris disebut Straw-headed Bulbul, mengacu pada warna kepalanya yang kuning-jerami pucat. Nama ilmiahnya adalah Pycnonotus zeylanicus.
Taksonomi Cucak rawa
Kerajaan : Animilia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Pycnonotidae
Genus : Pycnonotus
Species : P. seylanicus
Ciri-ciri
Burung yang berukuran sedang, panjang tubuh total (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 28 cm. Mahkota (sisi atas kepala) dan penutup telinga berwarna jingga atau kuning-jerami pucat; setrip malar di sisi dagu dan garis kekang yang melintasi mata berwarna hitam.
Punggung coklat zaitun bercoret-coret putih, sayap dan ekor kehijauan atau hijau coklat-zaitun. Dagu dan tenggorokan putih atau keputihan; leher dan dada abu-abu bercoret putih; perut abu-abu, dan pantat kuning. Iris mata berwarna kemerahan, paruh hitam, dan kaki coklat gelap.
Kebiasaan dan Penyebaran
Seperti namanya, cucak rawa biasa ditemukan di paya-paya dan rawa-rawa di sekitar sungai, atau di tepi hutan. Sering bersembunyi di balik dedaunan dan hanya terdengar suaranya yang khas. Suara lebih berat dan lebih keras dari umumnya cucak dan merbah. Siulan jernih, jelas, berirama baku yang merdu. Kerap kali terdengar bersahut-sahutan.
Di alam, burung ini memangsa aneka serangga, siput air, dan berbagai buah-buahan yang lunak seperti buah jenis-jenis beringin. Menyebar di dataran rendah dan perbukitan di Semenanjung Malaya, Sumatra (termasuk Nias), Kalimantan, dan Jawa bagian barat. Di Jawa Barat terdapat sampai ketinggian 800 m dpl., namun kini dianggap punah karena perburuan.
Permasalahan Perlindungan
Cucak Rawa sebenarnya sempat termasuk ke dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2018. Pada tahun yang sama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan PerMen LHK Nomor 92 Tahun 2018 dengan dikeluarkan dari status burung Cucak Rawa sebagai satwa yang dilindungi menjadi tidak lagi dilindungi.
Perubahan status ini berbarengan dengan burung-burung lain seperti Murai batu (Kittacinla malabarica), Jalak suren (Gracupica jalla), Anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan Anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis). Murai batu, Cucak rawa, dan Jalak suren merupakan jenis burung kicau yang biasa dilombakan, sedangkan untuk Anis bentet sangihe dan Anis bentet kecil merupakan jenis burung endemik.
Dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) Red list burung ini mempunyai status rentan (vulnerable), sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan burung ini dalam daftar Apendiks II.
Keberadaan
Di Indonesia burung ini memiliki 27 jenis dan wilayah yang paling banyak adalah di Indonesia bagian barat. Hingga saat ini ada 2 spesies yang menyebar hingga ke Sulawesi dan Lombok. Ada pula spesies yang menyebar hingga ke Maluku yaitu yakni Lophoixus affinis (Brinji emas).
Burung yang berumur sekitar jutaan tahun ini telah berkembang menjadi sembilan subspesies yang berbeda. Misalnya P. bimaculatus (Cucak Gunung), P. plumosus (Merbah Belukar), Alophoixus bres (Empuloh Janggut), P. melanicterus (Cucak Kuning), P. aurigaster (Cucak Kutilang), dan P. goiavier (Merbah cerukcuk).
Burung yang masih kerabat kutilang ini, dulunya dapat ditemukan di hutan-hutan pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Namun menurut Mckinnon dkk., kini burung tersebut telah punah di alam Jawa. Jadi, sudah tidak dapat lagi menjumpai Cucak Rawa liar di hutan-hutaan pulau Jawa. Kepunahannya disebabkan oleh perburuan tak berbatas yang dilakukan untuk tujuan ekonomi.
Pada daerah sumatera sendiri, jumlahnya telah sangat terbatas di hutan-hutan terpencil. Untungnya di Kalimantan jumlahnya masih lebih banyak daripada Sumatera. Burung ini dapat ditemukan di hutan-hutan yang jauh dari pemukiman. Namun, apabila perburuan terus dilakukan, tidak menutup kemungkinan Cucak Rawa ini benar-benar akan punah dari seluruh alam Indonesia.
Untuk menghindari kepunahan Cucak Rawa dari alam Indonesia, ada baiknya para pemburu berlatih untuk mengembangbiakkan burung ini dalam penangkaran. Walaupun burung ini mudah stres saat diternakkan, namun beberapa peternak telah berhasil mengembangbiakkan Cucak Rawa di penangkaran. Dengan keberhasilan penangkaran diharapkan jumlah Cucak Rawa di alam tidak berkurang lagi dan dapat berkembang menjadi lebih banyak di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Kondisi jumlah burung Cucak Rawa yang kritis (bahkan di alam liar pulau Jawa sudah punah) agar menjadi perhatian pemerintah terutama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar merevisi atau membuat peraturan yang memasukan burung ini kembali dengan status dilindungi.
Langkah-langkah strategis perlu dilakukan dalam menyelamatkan burung Cucak Rawa, yaitu dengan melakukan penangkaran yang sistematis dan penambahan jumlah species burung ini dan kemudian dikembalikan ke alam liar habitat-habitat aslinya yang dulu pernah ada.***