-->
Oleh: ARDA DINATA
Adanya diferensiasi seksual sebenarnya sudah dimulai sejak anak lahir. Orang tua mendandani dan merawat bayi berbeda, sesuai dengan harapan yang ditimbulkan tipe seks. Anak-anak menunjukkan keingintahuan tentang seksualitas. Jika keingintahuan ini dihargai sebagai sesuatu yang sehat dan diberi penjelasan sesuai usia, anak akan dapat menerima keajaiban hidup dan merasa nyaman dengan perannya. Jika seks dianggap tabu dan pertanyaan-pertanyaan anak ditolak secara kasar, hasilnya adalah perasaan malu dan tidak nyaman.
Oleh karena itu, menurut dr. Sally Halim Msc, pengertian terhadap perkembangan psikoseksual mempengaruhi perkembangan identias seksual. Penanganan yang salah dapat mengembangkan sikap-sikap yang tidak diinginkan, bahkan deviasi seksual. Beliau menyebutkan terdapat lima fase perkembangan psikoseksual anak.
Pertama, fase oral (0 - 1 tahun).
Freud menamakan fase ini sebagai fase oral, karena mulutlah yang menjadi area penting dalam mencapai kepuasan pada anak, melalui menyusui. Pemberian ASI akan membantu perkembangan otak, meningkatkan kekebalan, menjalin hubungan mesra ibu dan anak serta meningkatkan rasa aman.
Pada fase ini anak tidak berdaya, ia tergantung pada ibu. Segala kebutuhannya harus dipenuhi ibu termasuk menyusu bila ia lapar, mengganti popok bila ia basah, memberi kehangatan dan perlindungan. Pengalaman menyenangkan yang diperoleh melalui mulut (menyusui) haruslah dijaga oleh lingkungan, teristimewa ibu mempunyai peranan penting dalam mencapai kepuasan oral ini.
Kegagalan fase ini menimbulkan fiksasi, misalnya: banyak bicara, banyak makan, banyak merokok, atau hanya menyukai seks oral, membuat anak menjadi pesimis, menyesali masa lalu sehingga timbul depresi, bingung menghadapi masa depan (dapat menjadi penderita psikotik atau penyalahguna obat/pemadat).
Kedua, fase anal (1-3 tahun).
Pada fase ini anak memiliki kemampuan untuk mengatur gerakan otot termasuk fase anal, yang artinya pusat kepuasan terletak di anus atau dubur. Anus terletak di belakang dan tak dapat dilihat oleh anak. Ini menimbulkan kecemasan, yang di kemudian hari menjadi cikal bakal paranoid.
Pada periode ini sifat ketergantungan anak mulai berkurang, kemampuan mandiri berkembang pesat. Anak mulai memahami perbedaan dirinya dengan dunia luar. Kemandirian yang sebenarnya menguntungkan anak, menimbulkan rasa pertentangan, karena keinginan anak belum tentu sesuai dengan aturan lingkungan. Anak boleh nakal tetapi harus mengenal disiplin. Ibu yang terlalu ketat, mengekang, tidak memberi kesempatan pada anak untuk memuaskan keinginannya, membuat anak menjadi: tak terkendali, merusak, mudah ngambek, agresif, atau selalu menentang orang lain. Sebaliknya, ibu yang bijaksana menghasilkan anak yang memiliki keinginan seimbang.
Kegagalan fase ini menimbulkan sifat perfeksionis, kikir, homoseksual, sodomi, enuresis, enkoperesis dan paranoid, individu tidak senang menjadi dirinya, pemalu, ragu dalam bertindak, terlalu sadar diri sehingga tidak berani tampil.
Ketiga, fase phallus (3-6 tahun).
Menurut Freud kepuasan fase ini berkaitan dengan phallus (baca: sesuatu yang menonjol). Inilah waktu Oedipus Complex, anak memiliki dorongan seksual terhadap orangtua yang berlainan jenis dan ingin menyingkirkan terhadap orang tua yang sejenis. Hal ini terjadi dibawah sadar. Penting bagi orang tua bersatu untuk membantu anak melepaskan Oedipus Complex (sebab anak mengetahui bahwa orang tua tak dapat dipecah. Bila anak sayang ayah berarti ia harus sayang ibu. Jadi konflik Oedipal dapat diselesaikan). Oedipus dan Electra Complex merupakan istilah yang sama (Oedipus untuk anak lelaki dan Electra untuk perempuan).
Pada akhir periode ini super ego terbentuk. Anak belajar mengekspresikan impuls agresif secara konstruktif seperti persaingan sehat. Super ego (hati nurani) membimbing anak untuk mengenal dan mengerti nilai moral (perasaan bersalah, baik-buruk). Bila super ego terlalu keras, anak menghukum diri secara berlebihan, membatasi inisiatif dan ambisi anak. Jika super ego terlalu lemah, longgar, mengizinkan segala sesuatu, maka anak kurang memiliki rasa bersalah berlaku sesuka hati. Kegagalan fase ini membuat anak menjadi homeseksual, dan enggan berorganisasi.
Keempat, fase latensi (7-11 tahun).
Pada fase ini gejolak emosi lebidinal menjadi tenang. Oedipus Complex sudah dapat diatasi dan ini merupakan langkah awal menuju sosialisasi. Selama periode ini anak masuk sekolah. Sekalipun perasaan seksual direpresi, emosi yang berkaitan dengan perbedaan seks mulai timbul sebagai perasaan senang atau perbedaan seks mulai timbul sebagai perasaan senang atau malu pada lawan jenis. Kegagalan fase ini membuat anak rendah diri, tak bergairah untuk belajar atau bekerja, tidak dapat bersosialisasi.
Kelima, fase genital (11-19 tahun).
Libido kembali bergejolak berkaitan dengan kematangan biologis yang dipengaruhi oleh hormon seks dan hipofisis. Anak berada dalam masa puber (pubercere = menjadi matang). Seks sekunder berkembang pesat, anak lelaki mulai mimpi basah dan anak perempuan mengalami menstruasi.
Anak berkembang menjadi pemberontak, sulit diatur, menuntut terhadap orang tua dan mempunyai pendapat sendiri. Pada masa ini remaja putra malu berjalan dengan ibunya, ia menolak dicium orang tua. Ini menunjukkan anak ingin melepaskan diri dari orang tua, dari ikatan keluarga. Tidak etis bagi orang tua untuk menentang usaha anak melepaskan diri. Teman-teman sebaya menjadi penting dan hubungan ini memberi rasa aman dan kepastian pada remaja. Remaja mencari pengalaman heteroseksual (pacaran). Orang tua hendaknya memberi kesempatan dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
Dorongan dan minat seks berkembang dengan pesat, misalnya: mengintif orang mandi, melihat anjing kawin dan gambar porno, onani, menggoda lawan jenis. Istirahat, olah raga teratur, gizi seimbang, dan penjelasan kesehatan reproduksi perlu diperhatikan. Kegagalan fase ini membuat remaja bingung akan dirinya yang tercetus dalam pertanyaan: "Siapakah aku"?
Akhirnya, sebagai orang tua mau tidak mau harus memberikan pendidikan seks dan pemahaman yang benar berkait dengan psikoseksual dan akibat-akibatnya bila tidak maka seorang anak akan berperilaku menyimpang dari aturan moralitas dan agama. Itulah cermin terjadinya deviasi seksual.***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.