Orang Tua dan Perkembangan Agama Anak
Oleh: ARDA DINATA
SETIAP pasangan pengantin dipastikan mendambakan buah hati (anak-anak) sebagai generasi penerus bagi kedua orang tuanya, tentunya generasi yang berkualitas. Di sini, kualitas anak yang dilahirkan tergantung pada faktor orang tuanya ---ini sebagai faktor utama. Selain itu tidak kalah penting juga adalah faktor lingkungan di mana anak-anak dibesarkan, dan kekuatan anak itu sendiri. Istilah lainnya: bibit, bebet dan bobot.
Dunia anak merupakan sebuah romantika kehidupan yang mempunyai nilai tersendiri dan harga seni yang sulit diterka dengan segaris melintas. Tapi, itu semua butuh waktu yang lama dan panjang. Penuh onak dan duri, banyak rintangan.
Idealnya penyandang orang tua atau bapak dan ibunya anak-anak itu telah menggondol (punya bekal) tentang tata cara mendidik dan mengasuh anak dari dalam kandungan sampai mengerti nilai ke duniaan yang fana.
Kaitannya dengan perkembangan agama bagi anak-anak, tentunya kita telah diingatkan oleh sebuah hadits yang menyebutkan, bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka yang menjadikan karakter anak untuk pertama kali adalah orang tuanya. Baru kemudian dilanjutkan oleh faktor lingkungan di mana anak dibesarkan. Hal ini yang nantinya akan menentukan wujud dari jati diri sang anak tersebut.
Yang jelas, secara moral tentunya orang tua bertanggung jawab terhadap eksistensi si anak sampai akherat kelak. Apakah hitam atau putih, pasti diminta pertanggung jawabannya di hadapan Yang Maha Besar.
Seorang anak itu sama halnya dengan harta benda kita. Keberadaannya merupakan amanah dari Allah SWT. Konsekuensinya, setiap orang tua harus dapat menjaga dan mendidik amanah tersebut sebaik-baiknya agar dapat membahagiakan sang generasi penerus, baik di dunia maupun di akherat.
Perkembangan Agama
Dari sekian banyaknya perhatian yang perlu diberikan terhadap anak, hemat penulis yang paling penting untuk diperhatikan para orang tua dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama, tentunya kita perlu mempertimbangkan jiwa anak itu sendiri.
Untuk membantu hal tersebut, alangkah baiknya para orang tua terlebih dahulu mengetahui tingkat perkembangan agama terhadap anak-anaknya. Seorang pakar teologie, Ernest Harms, dalam bukunya yang bertajuk The Development of Religions on Children, membagi perkembangan agama bagi anak-anak menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan dongeng.
Tingkatan ini dimulai pada anak usia 3–6 tahun. Dalam fase ini, seorang anak banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosional. Atas dasar ini, untuk memperkenalkan konsep ke-Tuhanan pada anak harus disesuaikan dengan perkembangan intelektualnya. Yaitu masa kehidupan yang masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, sehingga untuk memasarkan konsep agama pun bagi si anak harus melalui fantasi berupa dongeng-dongeng yang masuk akal mereka.
Dongeng-dongeng agama itu, diantaranya cerita tentang sahabat-sahabat Rasulullah, pahlawan-pahlawan Islam, tempat-tempat suci, kisah Raja Fir’aun, kisah As Khabul Kahfi, kisah Nabi Khidir, kisah Nabi Musa dengan mu’jizat ular raksasa, dll.
Selain itu, kisah dongeng dalam negeri pun tidak kalah menarik yang bermuatan nilai-nilai agama ini. Misalnya, kisah Malin Kundang, Sembilan Wali, Fatahillah, dan kisah perjalanan Islam lainnya.
Kedua, tingkatan kenyataan.
Tingkatan ini dimulai sejak awal masuk sekolah dasar sampai usia adolense. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak telah mencerminkan konsep realistis. Konsep ini didapat melalui lembaga-lembaga formal keagamaan dan pengajaran konsep agama dari orang dewasa. Dalam fase ini, ide keagamaan yang muncul pada anak dipacu atas dorongan emosional yang melahirkan konsep Tuhan yang formatif.
Ketiga, tingkatan individu.
Pada fase ini si anak telah memiliki interst emosi yang paling tinggi sejalan dengan bertambahnya usia. Konsep keagamaan yang individualis ini dibagi tiga konsep dasar. (1) Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif (dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi). (2) Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni. Hal ini dibuktikan dengan pandangan yang bersifat perseorangan. (3) Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Di mana agama telah menjadi etos humanis pada diri anak dalam menghayati pelajaran agama.
Dengan demikian, akhirnya kita dapat membimbing perkembangan agama bagi anak-anak secara tepat. Insya Allah.***