Niat Baik Untuk Berkeluarga
Oleh: ARDA DINATA
Allah Swt. memberikan pembalasan kepada amal seseorang menurut niatnya. Niat berarti ujud (maksud tujuan sesuatu perbuatan); nadar; kaul; kehendak (maksud) akan melakukan sesuatu. Sedangkan baik berarti elok; patut; teratur (apik, rapi, beres, tak ada celanya dsb); berguna; manjur; tidak jahat; sembuh; selamat. Jadi, niat baik manusia merupakan perilaku awal berupa kehendak (maksud) akan melakukan sesuatu kebaikan dalam kehidupannya.
Mengapa kita harus mempunyai niat baik dalam hidup ini? Karena manusia itu lemah dan Allah Maha Kuasa. Allah menentukan segala-galanya, termasuk baik dan buruk. Sedangkan manusia hanya tinggal berusaha, ketentuan berhasil atau tidaknya ditentukan oleh Allah. Di sini terlihat ada kekuasaan Allah. Sebenarnya apa yang terjadi terhadap diri manusia, tidak lain sangat tergantung dari amal perbuatan, dan niatnya.
Kekuatan niat (baik) ini, sangat menentukan sekali dalam perjalanan hidup seseorang. Lagian, niat baik itu bukan untuk Allah, tapi akan berpulang kepada manusia sendiri dan bahkan Allah akan menambahkan kebaikannya. Allah berfirman, “…. Katakanlah: ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.’ Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Asy Syuura: 23).
Pada konteks ini, Allah akan mensyukuri hamba-Nya. Artinya Allah akan memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya, dll. Itulah makna dari Allah Maha Mensyukuri. Dan sebaik-baiknya keuntungan berkait dengan niat ini adalah niat yang ditunjukan untuk menggapai keuntungan di akherat (baca: QS. Asy Syuura: 20).
Niat Baik, Jangan Ditunda
Sesuatu niat (baik) ini akan menjadi amal yang baik (amal hasan), jika dilakukan dengan ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan hukum syara’. Oleh karena itu, para ulama salaf senantiasa menyatukan dua unsur pokok ini. Adalah Fudlail bin Iyadl dalam menjelaskan firman Allah: “ ….agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya….” (QS. Al Mulk: 2), mengatakan: “Yang terbaik amalnya adalah yang terikhlas dan terbenar amalnya.”
Untuk itu, niat baik jangan ditunda-tunda. Tugas kita, hanya luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar. Berikut ini, ada beberapa tatanan niat baik yang tidak perlu ditunda-tunda untuk melakukannya.
Berkeluarga adalah suatu usaha membangun sistem kemanusiaan yang urgenitasnya ditekankan dalam Islam. Keluarga ini merupakan elemen dasar dalam bangunan masyarakat. Syariat Islam sendiri telah memberikan prioritas perhatian yang besar terhadap institusi keluarga, sehingga ia menduduki posisi yang layak.
Lebih dari itu, keluarga mengantarkan kepada posisi yang menjadi pijakan kokoh bagi setiap muslim untuk mewujudkan kemuliaan, kehormatan, dan amal saleh yang bermanfaat. Lagian, hidup berkeluarga itu tidak berlawanan dengan ke-Rasul-an dan justru sangat dianjurkannya.
Allah berfirman dalam QS. Ar Ra’d: 38, yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan ….” Dan Nabi saw bersabda, “Menikahlah dan perbanyaklah keturunan kalian. Karena aku akan berbangga di hadapan umat-umat yang lain dengan jumlah kalian yang banyak pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi).
Untuk itu, jangan tunda niat baik untuk berkeluarga. Di antara kita hendaknya bila menemukan laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat segera kawin. Anjuran kawin ini, Allah ungkapkan dalam Al-Quran surat An-Nuur: 32-33, yang artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya …..”
Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu, maka hendaknya dia menikah. Karena hal itu akan lebih menjaga kemaluannya dan menundukkan pandangan matanya. Tapi siapa yang belum mampu, maka hendaknya dia (memperbanyak) berpuasa, karena puasa itu menjadi benteng bagi dirinya (dari perbuatan zina). (HR. Bukhari dan Muslim).
Perbuatan tidak menunda niat baik untuk berkeluarga ini, telah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, seperti tercermin dalam sebuah nasehatnya kepada seorang pembantunya. Selengkapnya, seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad –pelaku peristiwa ini-- dengan sanad Hasan berikut ini.
Seorang sahabat mengabdi kepada Nabi saw untuk melayani keperluan beliau. Jika diperlukan, ia bermalam di rumah beliau. Pada suatu kesempatan, beliau bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikah?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ini orang miskin dan tidak punya apa-apa, sehingga tidak mampu untuk menikah. Oleh karena itu, aku mengabdikan diriku untuk melayani baginda.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw terdiam. Kemudian beliau mengulang pertanyaannya itu, dan orang itu pun memberikan jawaban yang sama.
Lalu sahabat ini berpikir, “Demi Allah, pasti Rasulullah saw lebih mengetahui apa yang membawa maslahat bagiku dalam dunia dan akhiratku serta apa yang mendekatkanku kepada Allah. Kalau beliau bertanya untuk ketiga kalinya, niscaya aku akan melaksanakannya.” Maka, ketika Rasulullah saw bertanya untuk ketiga kalinya, “Mengapa engkau tidak menikah?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah saw, nikahkanlah aku!”
Beliau bersabda, “Pergilah ke Bani Fulan dan katakan pada mereka bahwa Rasulullah saw menyuruh kalian menikahkanmu dengan salah seorang putri kalian.” Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku tak punya apa-apa.” Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “Kumpulkanlah emas untuk saudara kalian ini seukuran nawah –senilai lima dirham--.” Mereka pun mengumpulkan dan membawa sahabat tadi ke kaum tersebut. Mereka lalu menikahkannya. Setelah itu Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Adakanlah walimah.” Kemudian para sahabat membelikannya seekor kambing untuk walimah.
Secara demikian, perilaku yang menuda-nunda berkeluarga (baca: membujang, dalam pengertian menjauhi dan menolak perkawinan meskipun memiliki kemampuan benda dan materi) merupakan akhlak yang dicela Islam. Islam mengecam keras orang-orang seperti itu dan Rasulullah saw menjuluki mereka sebagai saudara-saudara setan serta sejelek-jeleknya orang yang hidup dan orang yang mati. Sehingga tanamkanlah sikap dalam diri setiap muslim bahwa “Siapa takut untuk berkeluarga?”
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.