KAUM Muslim yang sudah
melaksanakan ibadah haji, tentunya kita harapkan menjadi haji mabrur. Doa ini
penting kita panjatkan karena semua jamaah haji tentu mendambakan haji mabrur.
Harapan dan keinginan mendapatkan haji mabrur dapat dipahami, karena bukankah pengampunan
dan surga Allah menjadi balasan dan imbalannya. Nabi Saw bersabda, Haji yang
mabrur tak ada balasan lain kecuali surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka
yang telah menggapai haji mabrur, tentu akan memancarkan berbagai kebaikan
sosial dalam kehidupan kesehariannya, diantaranya, ialah memiliki peningkatan
rasa persaudaraan di antara umat, karena saling berkenalan dan berkomunikasi
dengan jamaah haji dari segala penjuru dunia, menumbuhkan rasa hormat
menghormati dan mengalahkan rasa rendah diri, karena di sanalah jamaah haji
akan menyadari kesamaan derajat di hadapan Allah SWT.
Akhirnya,
kita hanya memohon kepada Allah SWT, semoga kita diberi ilmu dan kemampuan
usaha berbuat Tajdidul Iman pada setiap saat, lebih-lebih bagi mereka
yang telah memperoleh predikat haji mabrur. Sehingga diharapkan aktivitas ini
akan meningkatkan iman kita menuju terwujudnya iman sejati yang sesuai dengan
harapan-Nya. Amin.***
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com
Nilai Kemabruran Haji
Oleh: Arda Dinata
KAUM Muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji, tentunya kita harapkan menjadi
haji mabrur. Doa ini penting kita panjatkan karena semua jamaah haji tentu
mendambakan haji mabrur. Harapan dan keinginan mendapatkan haji mabrur dapat
dipahami, karena bukankah pengampunan dan surga Allah menjadi balasan dan
imbalannya. Nabi Saw bersabda, Haji yang mabrur tak ada balasan lain kecuali
surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, kemabruran ibadah haji juga ditandai oleh tanggung jawab dakwah
Islamiyah yang tinggi, baik bil lisanil hal maupun bil
lisanil maqal. Hal ini sesuai pesan Rasul saat haji Wada’, yaitu
supaya setiap yang hadir wajib menyampaikan ajaran Islam kepada yang tidak
hadir. Demikian pula dengan tanggung jawab dalam memelihara jiwa, harta,
kehormatan dari orang lain, melindungi yang lemah baik manusia, heman dan
tumbuh-tumbuhan.
Pendeknya, haji mabrur berarti haji yang baik atau mendatangkan kebaikan
bagi pelakunya. Di kalangan ulama, diungkapkan kalau haji mabrur itu ialah haji
yang tidak dicampuri atau dinodai oleh dosa-dosa. Ini mengandung makna bahwa
berbagai kebaikan ibadah haji yang diperoleh oleh para hujjaj itu telah
membentengi diri mereka dari dosa-dosa dan berbagai tindakan kejahatan.
Berkait dengan itu, Imam Nawawi, mengungkapkan bahwa haji mabrur adalah
haji yang buah atau hasilnya tampak jelas bagi para pelakunya. Buah haji itu,
tak lain menguatnya iman dan meningkatnya ibadah serta amal saleh dalam arti
yang seluas-luasnya. Dengan demikian, maka keadaan hujjaj itu setelah
menunaikan ibadah haji jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Memelihara dan melanggengkan nilai keimanan
Berdasarkan pola pikir yang diungkapkan Imam Nawawi tersebut, tentu dapat
dipahami bahwa memperoleh haji mabrur merupakan sesuatu yang sulit. Namun,
sesungguhnya yang lebih sulit lagi dari itu adalah bagaimana mempertahankan,
memelihara dan melanggengkan nilai-nilai kemabruran haji itu sepanjang hidup
kita.
Oleh karena itu, kemabruran haji ini tentu perlu senantiasa dipelihara,
karena kondisi batin seseorang tidaklah tetap. Tapi sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan sekitarnya. Tepatnya, suatu saat kadar iman tinggi, di lain
waktu kadar iman menjadi menurun.
Ketinggian dari nilai iman ini,
tentu banyak tantangan untuk mempertahankannya dalam kehidupan manusia.
Lebih-lebih saat ini, berbagai serbuan media dan informasi banyak yang dapat
melemahkan kekuatan iman seseorang. Artinya derajat dan tingkatan iman setiap
orang berbeda-beda. Jelasnya, fluktuasi iman seseorang itu akan terjadi setiap
saat.
Kondisi seperti itulah
yang banyak kita lupakan. Di sinilah sebenarnya perlunya upaya memperbaharui
keimanan kita setiap saat. Memperbaharui keimanan (Tajdidul Iman), diartikan
sebagai bentuk kompensasi kita ---usaha untuk mempertahankan kestabilan iman---
dan mengontrol kadar iman yang kita miliki serta meningkatkan kualitas imannya.
Untuk mencapai kondisi iman yang
relatif stabil itu, memang bukan sesuatu yang mudah. Walau demikian, bagi Allah
tentu tidak ada yang tidak mungkin, kalau cinta-Nya telah bersemayam pada diri
kita. Setidaknya ada empat usaha yang dapat membangkitkan/melanggengkan nilai
keimanan seseorang (terutama setelah menggapai haji mabrur), sehingga Tajdidul
Iman tersebut menjadi terarah.
Pertama, melakukan
tadabbur quran. Allah dalam Alqur’an menyebutkan apakah mereka merenungkan
Quran? (QS. 4: 82). Lalu, Allah juga berfirman (yang artinya) : “Maka apakah
mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (QS. 47:
24). Dari perilaku tadabbur quran ini, maka pikiran kita akan selalu
merenungkan, mengkaji dan mengaplikasikan isinya, sehingga iman kita
terhadap-Nya akan selalu terkontrol pada ketentuan-Nya.
Kedua, melakukan
tafakur alam. Allah berfirman dalam surat Ali Imran: 190-191, yang artinya: “Sesungguhnya
tentang kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang menjadi tanda
(atas kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal. (Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan waktu berbaring; dan mereka
memikirkan kejadian langit dan bumi, (sambil berkata): Ya Tuhan kami, bukanlah
Engkau jadikan ini dengan percuma (sia-sia), Mahasuci Engkau, maka
peliharakanlah kami dari siksa neraka.”
Kalau kita perhatikan, ternyata
ayat tersebut diakhiri dengan doa untuk kemenagan iman, mengalahkan kekafiran,
dan diakhiri pula dengan ramalan tentang kemenangan akhir. Di sini dinyatakan
pula bahwa kaum mukmin bukanlah orang pertapa yang menyingkir ke tempat sunyi
untuk berdzikir kepada Allah, dan bukan pula orang yang hanya berusaha
menaklukan alam, tanpa berpikir tentang Tuhan dan Penciptaan alam semesta.
Sebaliknya, kaum mukmin dilukiskan sebagai orang yang mengingat-ingat Allah di
tengah-tengah kesibukan mereka dalam urusan duniawi ---sambil berdiri, duduk
dan berbaring---.
Dengan demikian, mereka menyadari
sepenuhnya akan adanya Tuhan dimanapun dan dalam keadaan bagaimanapun. Sebaliknya,
mereka berusaha menaklukkan alam dengan sepenuh kesadaran bahwa tak ada barang
yang diciptakan itu terdapat tujuan-tujuan tertentu. Itulah tujuan utama yang
digariskan oleh Islam bagi para pengikutnya, yaitu menaklukan diri sendiri
dengan jalan berdzikir kepada Allah, dan menaklukan alam dengan jalan menuntut
ilmu pengetahuan (Muhammad Ali: 1995). Melalui usaha ini, jelas-jelas
akan meningkatkan keimanan bagi mereka yang melakukannya.
Ketiga, melakukan
amal shalih. Ada tidaknya atau tinggi rendahnya iman seseorang akan dapat
dilihat dari perilakunya. Artinya perilaku seseorang akan menunjukkan tingkat
imannya. Dalam hal ini, perilaku yang dapat membangkitkan nilai keimanan adalah
berupa memperbanyak amal shalih.
Secara demikian, orang yang mengerjakan
amal shalih adalah orang beriman yang mengaktualisasikan keimananya berupa amal
perbuatan yang jelas-jelas dilandasi iman. Iman dan amal perbuatan itu, tidak
bisa dipisahkan. Sebab, iman menuntut adanya amal dan amal merupakan
konsekuensi mutlak dari sebuah keimanan. Sebaliknya amal menuntut adanya iman,
karena amal perbuatan tanpa dilandasi keimanan kepada Allah adalah sia-sia
belaka (tidak berguna). Oleh karena itu, besar kecilnya kadar keimanan
seseorang akan banyak ditentukan oleh jenis, kualitas dan kontinuitas amal yang
dilakukannya.
Keempat, melakukan
proteksi terhadap perbuatan dosa. Untuk menjadikan hati bening berisi keimanan,
maka lakukanlah perbuatan-perbuatan yang terhindar dari perilaku maksiat atau
mendatangkan dosa. Hal ini didasarkan bahwa perbuatan dosa itu bisa menyebabkan
hati kita menjadi kotor. Kondisi hati yang kotor, tentu dapat menyebabkan
tertutupnya iman dan bahkan akan menenggelamkan keimanan seseorang.
Aktivitas Tajdidul
Iman dengan cara membangkitkan nilai keimanan seperti disebut di atas,
paling tidak ia merupakan langkah yang tepat dalam menggapai posisi iman
sejati. Lebih-lebih
jalan menuju iman seperti disebut di awal, benar-benar telah dipenuhi dan
diaplikasikan dalam hidup keseharian.
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com