“Ibda’ binafsik!”, mulailah dengan dirimu. Dan Allah memerintahkan kepada kita, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka,…..” (QS. 66: 6).Memulai Dalam Hal Keteladanan
Oleh ARDA DINATA
Teladan itu diartikan sebagai sesuatu (perbuatan, barang, dsb) yang patut ditiru. Kita yakin, setiap orang akan merasa bahagia, seandainya pribadinya dapat menjadi contoh kebaikan bagi orang lain. Sebaliknya, ia akan bersedih bila orang mengetahui akan kejelekan dan kekurangan diri kita.
Untuk itu mulailah dari diri kita akan kebaikan. Yakni kebaikan yang dapat dicontoh dan dikenang orang lain, seperti halnya akhlak dan pribadi Rasulullah saw. Allah berfirman dalam QS. Al Ahzab, ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Berkait dengan manajemen diri ini, Allah juga menuntun kita seperti dalam QS. (59): 18, “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Setiap kita bebas melakukan apa saja. Tapi, bagi orang beriman perbuatan kita saat ini akan berproyeksi dalam kehidupan di akherat nanti. Untuk itu, jadilah yang terbaik, seorang yang teladan dalam kebaikan. Misalnya, orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya, guru menjadi teladan bagi murid-muridnya, dll. Singkatnya, kita selalu berusaha menyandang predikat keteladanan ini berawal dari diri sendiri.
Berkait dengan itu, Rasulullah berkata, “Ibda’ binafsik!”, mulailah dengan dirimu. Dan Allah memerintahkan kepada kita, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka,…..” (QS. 66: 6). Ayat ini, berarti permulaan perintah ditunjukan kepada diri sendiri, kemudian disusul kepada keluarga terdekat. Dalam konteks ini, berarti mulailah keteladanan itu dari diri sendiri sebelum beranjak kepada orang lain.
Realisasi keteladanan itu seperti dipraktekkan oleh Abu Bakrah, sahabat Rasulullah saw., yaitu: Dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah, bahwa ia berkata kepada ayahnya:“Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau setiap pagi berdo’a:Allaahumma ‘aafinii fii badanii, Allaahumma ‘aafinii fii sam’ii, Allaahumma ‘aafinii fii basharii, wa laa ilahaa illa anta (Ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah, sehatkanlah pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah penglihatanku. Tiada tuhan kecuali Engkau) yang engkau ulang tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari.” Ia menjawab: “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw. berdoa dengan kata-kata ini. Oleh karena itu, aku senang mengikuti Sunnahnya …..” (HR. Abu Dawud).
Hadits tersebut, jelas-jelas membuktikan bahwa seorang anak mencontoh ayahnya itu, bukan dengan perkataan yang diucapkan langsung kepada anaknya. Tapi, ia dilakukan dengan perbuatan dan teladan dari ayahnya sehari-hari. Jelasnya, anak-anak itu, lebih mementingkan perilaku dan tindakan orang tuanya daripada perkataan-perkataannya. Lalu, mengapa kita tidak segera memulai keteladanan kebaikan itu, dari kita sendiri?
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com
Pusat Pustaka Ilmu, Inspirasi dan Motivasi Menjadi Orang Sukses
Jl. Raya Pangandaran Km. 3 Kec. Pangandaran - Ciamis Jawa Barat 46396
http://www.ardadinata.web.id