"Apa pun bentuk problematika/kejadian hidup yang terjadi pada kita, mestinya direspon dengan sikap yang tenang dan tentram." [Arda Dinata]Kiat Meredam Gelisah Hati (Bagian 2)
Oleh: Arda Dinata
Pada tulisan bagian (1) sebelumnya, dibahas seputar: KEGELISAHAN terlahir akibat tidak adanya keseimbangan antara harapan dari hati, pikiran dan kenyataan. Adanya permasalahan hidup manusia muncul kepermukaan lebih disebabkan oleh hanya semata-mata dipersepsikan pada logika berpikir yang sempit. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan dari kita mendefinisikan masalah berupa kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi.
Menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan ini, menurut Dr.H.Muslim Nasution (2002) selalu menjadikan batin seseorang gelisah, tak tenang, dan tak tentu arah. Terkadang, yang membuat itu terjadi bukan hanya hal-hal yang bersifat cobaan atau derita, tetapi juga hal-hal yang berbentuk kenikmatan dan kebahagiaan.
Bagaimana menurut Anda?
Pada tulisan bagian (1) sebelumnya, dibahas seputar: KEGELISAHAN terlahir akibat tidak adanya keseimbangan antara harapan dari hati, pikiran dan kenyataan. Adanya permasalahan hidup manusia muncul kepermukaan lebih disebabkan oleh hanya semata-mata dipersepsikan pada logika berpikir yang sempit. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan dari kita mendefinisikan masalah berupa kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi.
Menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan ini, menurut Dr.H.Muslim Nasution (2002) selalu menjadikan batin seseorang gelisah, tak tenang, dan tak tentu arah. Terkadang, yang membuat itu terjadi bukan hanya hal-hal yang bersifat cobaan atau derita, tetapi juga hal-hal yang berbentuk kenikmatan dan kebahagiaan.
Artinya apa pun
bentuk problematika/kejadian hidup yang terjadi pada kita, mestinya direspon dengan sikap yang tenang
dan tentram. Lebih jelasnya, Allah menginformasikan dalam Alquran surat
al-Hadiid; 23, yang artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…”
Di sini
masalahnya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menggapai sikap
terbiasa tenang dan tentram dalam setiap kali menghadapi segala persoalan
hidup. Namun demikian, bukan pula berarti menjadi sesuatu hal yang tidak
mungkin dicapainya. Tapi, yang jelas terciptanya sikap jiwa yang senantiasa
tenang dan tentram merupakan buah ketekunan dari latihan dan kegigihan
menggapainya.
Untuk menjadikan
jiwa seperti itu, Rasulullah pernah berwasiat kepada seorang sahabatnya, Abu
Dzarr al-Ghiffari berikut ini.
Abu Dzarr berkata, “Rasulullah
berwasiat kepadaku tujuh hal: (1) agar menyayangi orang miskin dan mendekati
mereka; (2) melihat orang yang lebih rendah dan lebih susah; (3) jangan melihat
orang-orang lebih tinggi (kaya); (4) memelihara silaturahmi sekalipun terhadap
orang yang memusuhimu; (5) memperbanyak zikir, mengucapkan ‘Tidak ada kemampuan
dan daya kecuali dari Allah Swt’; (6) mengucapkan perkataan yang benar
sekalipun terasa pahit; (7) tidak ambil peduli terhadap celaan orang lain asal
dalam melakukan yang diperintahkan Allah Swt.”
Hal-hal
tersebut diterjemahkan Muslim Nasution berupa keharusan menyayangi orang
miskin; melihat orang yang di bawah, jangan melihat orang yang di atas; tetap
menjaga silaturahmi; banyak mengucapkan “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dari Allah”; mengatakan yang hak (benar) sekalipun pahit; tidak ambil peduli
terhadap orang lain asalkan yang kita lakukan benar-benar karena Allah; dan
tidak mengemis kepada orang lain.
Ketujuh arahan sikap
tersebut, bila kita aplikasikan dalam perilaku keseharian, maka dapat menjadi
upaya preventif dalam meredam gelisah hati seseorang. Dan lebih dari itu, kalau
kita cermati dari beberapa keterangan sebenarnya ada beberapa kiat yang bisa
kita lakukan untuk meredam gelisah hati ini.
Pertama, memiliki ilmu yang benar. Ilmu adalah
modal awal untuk dapat meredam kegelisahan hati seseorang. Janganlah
sekali-kali bermimpi dapat hidup tenang dan bahagia (baca: terbebas dari
gelisah hati) sekiranya belum memiliki ilmu yang benar untuk mengarungi jalan
hidup yang tidaklah lurus dan bersih dari berbagai kendala. Adapun ilmu tersebut
adalah ilmu Allah Swt berupa Alquran dan as-Sunnah.
Dalam sebuah hadits
dinyatakan, pada suatu ketika datanglah seseorang kepada Ibnu Mas’ud ra, untuk
meminta nasihat. “Wahai Ibnu Mas’ud,” ujarnya. “Berilah nasihat yang dapat
dijadikan obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan. Dalam
beberapa hari ini aku merasa tidak tentram. Jiwaku selalu gelisah dan pikiran
pun terasa kusut masai. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.”
Mendengar hal itu,
Ibnu Mas’ud kemudian menasihatinya. “Kalau penyakit seperti itu yang menimpamu,
maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang yang membaca
Alquran, kau baca Alquran atau dengarkanlah baik-baik orang yang membacanya;
atau pergilah ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau
carilah waktu dan tempat yang sunyi, kemudian ber-khalwat-lah untuk
menyembah-Nya. Misalnya di tengah malam buta, ketika orang-orang sedang tidur
nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, memohon ketenangan jiwa,
ketentraman pikiran, dan kemurnian hati kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum
juga terobati dengan cara ini, maka mintalah kepada Allah agar diberi hati yang
lain karena hati yang kau pakai itu bukanlah hatimu.”
Setelah orang itu
kembali ke rumahnya, diamalkanyalah nasihat Ibnu Mas’ud tersebut. Dia pergi
mengambil air wudlu. Setelah itu, diambilnya Alquran, kemudian dibacanya dengan
hati yang khusyuk. Selesai membaca Alquran, ternyata jiwanya berubah menjadi
sejuk dan tentram. Pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan kegelisahannya
hilang sama sekali.
Kedua, kita harus yakin kepada Allah Swt.
Sebagian dari kita manakala gelisah hati datang, ternyata amat sibuk dengan
pikiran yang mencemaskan perbuatan-perbuatan makhluk dan mengharapkan datangnya
bantuan makhluk. Padahal secara nyata, tidak ada satu pun yang dapat menimpakan
mudharat atau mendatangkan manfaat, selain dengan ijin-Nya.
Allah berfirman, “Jika
Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya,
kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tiada yang
dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107).
Dengan demikian,
setiap pilar-pilar kejadian yang menimpa kita sebenarnya akan menjadi sarana
yang paling tepat untuk bermunajat kepada Allah, sehingga membuat kita semakin
ingat pada-Nya, taqarrub dan tidak pernah bisa lupa kepada-Nya.
Perilaku seperti
itulah sebenarnya rahasia ketenangan dan kebahagiaan sejati di dunia yang insya
Allah akan menjadi bekal kebahagiaan yang kekal di hakerat nanti. Allah
berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram
dengan mengingat Allah. Ingat, hanya degan mengingat Allah-lah hati menjadi
tentram. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagiaan
dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28-29).
Ketiga, kuasai diri dengan sebaik-baiknya. Adanya
suatu persoalan hidup dirasakan pahit dan amat berat, maka sebetulnya semua itu
semata-mata karena kita belum mampu memahami hikmah di balik kejadian tersebut.
Oleh karena itu, bilamana datang suatu kejadian yang mencemaskan, segeralah
kuasai diri dengan sebaik-baiknya. Jangan menyiksa diri dengan pikiran yang
diada-adakan atau mempersulit diri, sehingga semakin menyiksa. Artinya
janganlah sedikitpun terbesit dalam pola pikir kita sesuatu anggapan bahwa
rencana kita lebih baik daripada rencana-Nya.
Untuk itu, ketika
kegelisahan hati muncul dalam hidup keseharian, maka hendaknya kita saat itu
pula ingat akan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 216, yang artinya: “Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Keempat, sempurnakan ikhtiar untuk mendapatkan
pertolongan-Nya. Dalam hidup ini harus kita yakini bahwa setiap segala kejadian
tentu atas ketentuan-Nya. Artinya manakala kegelisahan hati mendera kita, maka
segeralah kembalikan segala urusan kepada Allah. Hujamkan keyakinan dalam hati
akan kesempurnaan pertimbangan dan kasih sayang-Nya serta segera bulatkan tekad
bahwa Allah-lah satu-satunya pemberi jalan keluar dalam hidup ini.
Langkah
selanjutnya, setelah hati dan keyakinan kita bulat, segeralah pula bulatkan
ikhtiar untuk memburu pertolongan Allah dengan amalan-amalan yang dicintai-Nya.
Kekuatan ikhtiar ini merupakan kesempurnaan akan kekuatan manusia untuk mengatasinya.
Hal ini seperti diingatkan Allah dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 11, yang artinya: “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya
sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada
yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tidak ada perlindungan bagi mereka
selain Dia.”***
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com
Pusat Pustaka Ilmu, Inspirasi dan Motivasi Menjadi Orang Sukses
Jl. Raya Pangandaran Km. 3 Kec. Pangandaran - Ciamis Jawa Barat 46396
http://www.ardadinata.web.id